Impian Kartini Mendidik Ibu dan Guru

Photo Author
- Senin, 21 April 2025 | 07:20 WIB
St. Kartono (Ist)
St. Kartono (Ist)

“Bukan saja sekolah yang harus mendidik jiwa anak, tetapi juga terutama pergaulan di rumah harus mendidik! Sekolah mencerdaskan pikiran dan kehidupan di rumah tangga hendaknya membentuk watak anak itu!”

SEPOTONG surat untuk pasutri GK Anton, 4 Oktober 1902 dalam buku Surat-Surat Kartini - terjemahan Sulastin Sutrisno, 1985, dari versi asli berbahasa Belanda Door Duisternis Tot Licht, di awal tulisan ini menyuratkan pemikiran Kartini perihal peran sekolah dan rumah.

Bagi Kartini, sekolah berperan mencerdaskan murid dengan pengetahuan, sedang rumah membentuk watak dengan pembiasaan baik. Bagaimana agar sekolah dan keluarga dapat menjalankan perannya secara optimal? Kartini menunjuk dua aktor utama, yakni guru di sekolah dan ibu di rumah.

Menyiapkan Ibu

Betapa Kartini meyakini sumber dari segala sumber pendidikan ada pada sosok ibu di keluarga. Tidaklah berlebihan di zaman kini bertebaran keyakinan bahwa sekolah pertama bagi anak-anak kita adalah keluarga.

Karena itu Kartini menyuratkan seruan, didiklah perempuan, cerdaskan menurut perasaan dan pikirannya untuk melaksanakan kerja raksasa, yaitu membuat suatu bangsa beradab, cerdas, dan bangkit.

Dalam surat kepada Nyonya van Kol, Agustus 1901, Kartini akan membuka sekolah berasrama untuk anak-anak perempuan agar mendapat pelajaran berbagai ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Di asrama mereka akan dididik mencerdaskan pikirannya dan menghaluskan perasaannya.

Mengapa Kartini memilih sekolah untuk perempuan mesti berasrama? Penulis memahami pemikiran Kartini dalam konteks mutakhir. Sejatinya, asrama yang terkelola dengan baik dan terbimbing sepanjang waktu akan terjauhkan dari relasi senioritas dan perilaku menyimpang.

Karakter sebagai hasil pembiasaan akan terbentuk di asrama. Irama hidup yang tertib sejak bangun di pagi hari hingga berangkat tidur akan menjadi habitus penghuni asrama. Para murid dibiasakan membaca, belajar, berdiskusi, berbagi tugas, menghargai keberagaman, tepa-slira dengan sesama murid yang akan berlangsung berulang-ulang dan membentuk muscle memory.

Di surat yang lain, tersurat impian Kartini mendirikan sekolah berasrama untuk anak-anak perempuan sebagai sumbangan konkret kepada bangsanya, yakni memberikan (calon) ibu-ibu yang maju dan cerdas, yang akan meneruskan kemajuan dan kecerdasannya itu kepada anak-anaknya. Anak-anak perempuannya akan menjadi kaum ibu lagi, sedangkan anak lelakinya suatu ketika akan dipanggil turut menjaga suka-duka bangsa.

Guru yang Mumpuni

Sekolah berasrama pun menjadi penting untuk menyiapkan guru. Dalam imajinasi Kartini, dia menyebut diri sebagai guru sekolah berasrama, sepanjang hari harus mengasuh anak-anak bahkan sampai larut malam pun tidak akan bebas. Model pengasuh asrama demikian yang mestinya membekas dalam ingatan para calon guru. Guru yang menghayati semangat keguruannya akan menjauhkan niat-niat jahat yang mengganggu proses pendidikan. Jika tanggung jawab membentuk karakter berada di tangan keluarga, pencerdasan anak-anak bergantung pada guru di sekolah. Guru yang tidak terdidik akan menjerumuskan jiwa-jiwa muda yang dipercayakan padanya ke dalam jurang kesesatan berpikir. Guru yang (maaf!) miskin ilmu dan tak terbuka pada pemikiran baru akan menimbulkan kerusakan bangsa yang tak mudah diperbaiki.

Di zaman kini, meskipun untuk kondisi guru Indonesia begitu berat, toh guru pun perlu menunjukkan sebuah tingkatan pengetahuan tentang disiplin ilmu yang relevan dan menggunakan pengetahuan itu dalam penerapan di kelas. Bacaan-bacaan mutakhir akan menghadirkan sosok guru yang <I>well-informed<P> di depan siswanya. Ketidaksempatan guru membawa siswa melakukan berbagai eksplorasi atau menuntun ke arah nilai humanistik dan pengalaman-pengalaman manusiawi sangat mungkin disebabkan dalam dirinya tidak dibiasakan.

Di mata Kartini, sosok ibu di keluarga dan guru di sekolah terpotret dalam dua sisi sekeping mata uang. Ibu membangun karakter anak lewat pembiasaan di keluarga, sedang guru mesti memintarkannya di sekolah. Baik ibu maupun guru sama-sama perlu disiapkan dan dididik dengan matang. ***

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Ary B Prass

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X