KRjogja.com - DALAM kurun waktu beberapa tahun terakhir, berbagai perusahaan asing ternama berencana untuk melalukan investasi di Indonesia. Namun sayangnya, harapan jauh dari kenyataan. Tesla dan Google batal dan menunda investasinya di Indonesia. Di sisi lain, Apple tetap berinvestasi di Indonesia hanya saja nilainya kurang lebih Rp 1,6 triliun di Indonesia. Nilai yang sangat kecil dibandingkan investasinya di Vietnam (sekitar Rp 255 triliun).
Yang terbaru, LG Energy Solution batal melakukan investasi di Indonesia meskipun sudah melakukan negosiasi selama 5 tahun. Seorang pejabat LG Energy Solution, menyatakan bahwa penarikan proyek ini dilakukan setelah menimbang kondisi pasar dan lingkungan investasi.
Sejatinya Indonesia memiliki potensi besar. Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, sumber daya alam melimpah, dan posisi strategis di Asia, Indonesia seharusnya menjadi magnet investasi dunia. Sayangnya, potensi itu belum diimbangi dengan kesiapan yang dibutuhkan para investor global.
Salah satu investasi besar yang saat ini sedang berlangsung adalah proyek pembangunan pabrik mobil listrik asal Cina, BYD, di Subang. Sayangnya, proyek ini mendapatkan gangguan diantaranya: pemalakan dan pemblokiran akses oleh ormas. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Shinta Widjaja Kamdani, aksi premanisme ini dapat meningkatkan risiko terhadap kelangsungan investasi. Fenomena yang dialami oleh BYD ini memberikan sinyal negatif bagi iklim investasi di Indonesia, yang mana ketidakpastian non-ekonomi menambah beban di luar biaya dan regulasi.
Alasan Utama Investor Asing Enggan Ke Indonesia
Pertama, biaya produksi. Biaya produksi di Indonesia masih kalah kompetitif dengan Vietnam. Dilansir dari situs CEOWORLD Magazine, pada tahun 2024 upah rata-rata di Indonesia adalah US$ 344/bulan sedangkan Vietnam lebih rendah yaitu US$ 290/bulan.
Kedua, energi dan infrastruktur. Tesla enggan mendirikan pabrik di Indonesia karena penggunaan listrik di Indonesia yang masih mengandalkan tenaga fosil, yang diaggap tidak sejalan dengan prinsipnya. Google juga menunda investasi pusat data karena pasokan listrik yang belum stabil. Di sisi lain, logistik pun mahal. Bank Dunia menempatkan Indonesia di peringkat 61 Logistics Performance Index, jauh di bawah Vietnam yang berada di urutan 43.
Guru Besar dan ekonom senior INDEF, Didik J. Rachbini, berpendapat bahwa faktor kebijakan ekonomi yang kerap diluncurkan secara tiba-tiba oleh pemerintah dapat mengakibatkan perginya investor asing. Selain itu, defisit APBN 2025 yang melebar hingga penerimaan pajak yang “seret” semakin menimbulkan ketidakpastian pelaku pasar. Menurutnya, investor memilih menarik diri lebih dini daripada menghadapi risiko besar kehilangan modal.
Dr. Ko Young-Kyung dari Researcher Professor of ASEAN Center, Asiatic Research Institute, Korea University juga turut berkomentar. Menurutnya, ekonomi Vietnam yang berorientasi pada ekspor memberi nilai strategis bagi perusahaan. Vietnam sudah menikmati tarif ekspor hampir nol ke Uni Eropa di bawah EVFTA, sedangkan Indonesia masih merampungkan IEU‑CEPA dan belum bergabung CPTPP.
Perbaikan Perlu Diupayakan oleh Pemerintah Indonesia
Pemerintah harus bergerak menghadapi kondisi ini. Langkah awal adalah memberikan kepastian aturan. Omnibus Law investasi dituntaskan agar semua perizinan memakai aturan yang sama dan birokrasi disederhanakan. Aturan baru atau penyesuaian tarif juga perlu dipikirkan matang-matang agar perusahaan asing dapat memperhitungan untung-ruginya dengan pasti.
Kedua, Indonesia perlu mempercepat transisi energi bersih untuk mendukung industri masa depan. Menyediakan kawasan industri berbasis energi terbarukan akan menjadi nilai jual besar.
Ketiga, Indonesia perlu lebih ofensif dalam memanfaatkan Perjanjian Perdagangan Bebas atau Free Trade Agreement (FTA). Keuntungannya adalah tarif yang lebih rendah sehingga harga ekspor lebih murah dan biaya logistik turun karena bebas tarif.
Yang terakhir, penegakan hukum bagi tindakan premanisme dan pelanggaran etika.
Investasi asing bukan sekadar deretan angka di BKPM, investasi ini juga membawa transfer teknologi, lapangan kerja, dan reputasi ekonomi. Jika Indonesia mampu menekan biaya, memberi kepastian dan jaminan, serta menunjukkan komitmen hijau, tak ada alasan bagi investor untuk berpaling. (Ignatia Eka Puspita K., S.Ak., MBA)