Memitigasi Perekonomian Kedepan

Photo Author
- Rabu, 7 Mei 2025 | 22:50 WIB
Miyono Muhammad.
Miyono Muhammad.


KRjogja.com - PEMERINTAH INDONESIA telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 2025 sebesar 5,2 persen. Di tengah ketidakpastian global akibat kebijakan tarif AS dan perlambatan ekonomi Tiongkok, berpotensi target pertumbuhan tersebut tidak mudah dicapai. Terkait ini terdapat tiga cakupan yang saling bertaut. Pertama, tantangan dalam mencapai target pertumbuhan. Kedua, potensi defisit transaksi berjalan. Ketiga semakin disorotnya kebijakan pemerintah dalam mengendalikan perekonomian.

Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tergantung pada kondisi eksternal dan internal. Kondisi perekonomian dunia saat ini menjadi tantangan sangat berat. Persaingan makin ketat. AS yang seharusnya mendorong bebasnya perekonomian malah menghambat perdagangan dengan meninggikan tembok proteksi. Ketidakpastian semakin bertambah, seiring pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, karena kepemilikan utang luar negeri (ULN). Setiap pelemahan nilai tukar rupiah menambah pembayaran cicilan dan bunga ULN (dalam rupiah) yang menjadi beban APBN.

Disisi lain, depresiasi mata uang rupiah belum tentu menjadi peluang kenaikan ekspor, karena AS mengenakan tarif impor/tarif resiprokal 32 persen, yang pemberlakuannya ditunda 90 hari dimulai sejak 9 April 2025. Sedangkan, perekonomian Tiongkok sebagai negara mitra dagang utama tengah mengalami kelesuan. Perlu terobosan mencari pasar ekspor baru ke negara-negara lain.

Sumber pertumbuhan ekonomi 2025 tetap mengandalkan dari permintaan domestik, meski hal ini juga tidak mudah dilakukan. Gelombang PHK belum usai dan ini dikhawatirkan menurunkan daya beli dari kelompok masyarakat menengah. Jika tidak segera diatasi, misal dengan memberikan bantuan akan berdampak pada penurunan konsumsi. Agar efektif, sebaiknya bantuan diberikan dalam bentuk voucher belanja. Konsumsi rumah tangga pada 2024 memiliki kontribusi besar 54,04 persen terhadap PDB.

Neraca Pembayaran

Kondisi Neraca Pembayaran Indonesia saat ini merupakan salah satu aspek yang paling kritis. Kinerja ekspor dihadapkan pada tantangan yang berat, disisi lain kecenderungan impor terus meningkat. Perlu penataan ulang melalui paket deregulasi, agar impor berbagai produk yang bisa dihasilkan di domestik dapat dicegah, misal dengan menaikkan tarif impor dan meningkatkan konsumsi produk dalam negeri agar defisit transaksi berjalan terjaga dengan baik, yang sekaligus untuk melindungi industri manufaktur dan mengurangi PHK. Disamping itu, beban biaya impor BBM dan beban pembayaran ULN yang semakin besar (dalam rupiah) sebagai dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah, menyebabkan kekhawatiran akan membengkaknya defisit APBN yang telah dipatok sebesar 3 persen PDB.

Menurunnya potensi aliran ULN, kecuali pemerintah tetap dapat menarik pinjaman baik secara G to G maupun yang diperoleh dari pasar dalam jumlah besar. Sementara disisi lain, beban pembayaran ULN semakin bertambah, yang menyebabkan sumber pembiayaan defisit dari sektor pemerintah tidak dapat diharapkan lagi. Dengan demikian, sumber pembiayaan defisit transaksi berjalan hanya bisa diharapkan dari aliran modal swasta, yang berasal dari penarikan ULN swasta dan/atau dari masuknya investasi asing dalam bentuk portfolio investment (saham dan obligasi) serta investasi langsung / foreign direct investment atau FDI. Kedua jenis investasi asing tersebut sangat tergantung pada iklim investasi di Indonesia. Oleh karenanya, ini makin menguatkan pentingnya pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi dan menghilangkan berbagai distorsi untuk menarik investasi asing.

Tingkat Inflasi

Permintaan domestik 2025 masih cukup baik, namun perlu diwaspadai potensi penurunan pertumbuhan, sebagai signal perlambatan ekonomi. Diperkirakan inflasi akan terjaga dalam rentang sasaran 2,5%+/- 1%. Selain itu, dari sisi supply ketersediaan pasokan barang yang cukup bisa menjadi jaminan inflasi akan tetap terjaga. Potensi inflasi bisa muncul dari kenaikan harga BBM (administered price) akibat melemahnya rupiah terhadap dolar AS, kecuali pemerintah berkomitmen menjaga harga BBM tetap stabil, dengan konsekuensi harus menambah biaya subsidi.

Dengan perkiraan inflasi terjaga dalam rentang sasaran dan pemerintah melakukan deregulasi yang menyentuh sektor riil untuk menarik investor asing, maka untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan mendukung pertumbuhan, BI bisa menahan suku bunga acuan di 5,75% atau menurunkan ke 5,5%. (Miyono Muhammad, Deputi Direktur Kantor BI Yogyakarta periode 2019 – 2022, yang juga anggota ISEI - Cabang Yogyakarta)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X