KRjogja.com - FENOMENA larangan melakukan study tour ini sudah menggema akhir-akhir ini. Gema ini digaungkan dari Gubernur Jawa Barat untuk warga masyarakat setempat.
Larangan tersebut dikeluarkan karena adanya beberapa faktor:
1) biaya yang memberatkan sebagian masyarakat, karena pada umumnya study tour bersifat wajib,
2) keamanan dan kenyamanan dari anak didik karena melakukan perjalanan jarak jauh dan harus mandiri dalam segala hal, dan hal ini membuat sebagian masyarakat menjadi was-was melepas anak-anaknya bepergian tanpa pendamping keluarga. Belum lagi bila si anak mengalami sakit dan membutuhkan penanganan, hal tersebut juga menjadi kecemasan tersendiri bagi orang tua.
Larangan study tour bagi anak usia sekolah membawa dampak kurang menguntungkan bagi masyarakat:
1) siswa mengalami kekurangan pengetahuan dan pengalaman dalam nuansa belajar diluar kelas untuk pengembangan mental dan karakter sosial,
2) masyarakat kehilangan akses dan kesempatan ke destinasi wisata dan kehilangan kesempatan belajar budaya masyarakat lokal. Hal ini sangat disayangkan, karena usia sekolah membutuhkan beberapa ketrampilan dan pengembangan bersosialisasi, serta membutuhkan belajar diluar kelas.
Sedangkan bagi pihak sekolah, larangan study tour akan menghilangan metode belajar menyatu dengan alam dan hal tersebut sangat dibutuhkan anak usia sekolah sebagai pengembangan diri. Selain itu, anak-anak ini akan kehilangan ketrampilan berinteraksi dengan lingkungannya karena dalam study tour biasanya ada kelompok-kelompok yang dibentuk dengan tujuan anak dapat bekerjasama dengan kelompoknya dan belajar bertanggung jawab. Hal ini akan berpengaruh terhadap berkomunikasi dan kesulitan belajar memecahkan masalah bila ada persoalan.
Bagi pengusaha kepariwisataan, larangan study tour berdampak terhadap menurunnya jumlah wisatawan yang melakukan kegiatan berwisata. Hal tersebut juga berimbas pada pendapatan mereka dari sektor pariwisata (hotel/penginapan, UMKM, jasa wisata/tour guide). Pelaku wisata juga akan mengalami kesulitan dan kehilangan kesempatan bekerjasama dengan sekolah. Bila hal tersebut tidak ada solusi yang tepat, maka cita-cita bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai tujuan wisata nasional/internasional akan terhambat.
Bagi pelaku dan pebisnis pariwisata, fenomena tersebut menjadi pukulan telak setelah adanya penurunan okupansi hotel/penginapan akhir-akhir ini, dan hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan berdampak pada keberlanjutan bisnis tersebut. Dan bila dikaji lebih dalam, hal tersebut akan memiliki dampak serius untuk kelangsungan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Beberapa solusi terkait pelarangan study tour:
1) mengadakan evaluasi kebijakan pelarangan tersebut baik dari sisi pembiayaan, kondisi masyarakat, dan pengaturan kegiatan tersebut ( tidak harus study tour keluar provinsi, tidak harus melakukan study tour berhari-hari sehingga biaya membengkak, tujuan inti dari study tour yang diutamakan),
2) Tidak dilarang, akan tetapi seyogyanya ada pengaturan kurikulum/kegiatan tersebut sesuai dengan kondisi masyarakat (sifat tidak wajib dan ada tugas pengganti yang tidak memberatkan bila memang dalam study tour ada tugas-tugas tertentu). (Dr. Damiasih, Dosen Stipram Yogyakarta)