KRjogja.com - PADA April 2025, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menetapkan kebijakan tarif resiprokal terhadap barang impor dari sejumlah negara, termasuk Indonesia, sebagai bentuk proteksionisme ekonomi AS. Kebijakan ini membuat tarif produk ekspor Indonesia ke AS melonjak hingga 32% dari sebelumnya berkisar 0%-5%. Hal ini tentunya berpotensi memberikan dampak terhadap kinerja ekspor nasional secara luas mengingat pangsa ekspor ke AS terhadap total ekspor nasional mencapai 12%. Dalam cakupan daerah, khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kebijakan resiprokal tersebut berpotensi memberikan berbagai pengaruh.
Dampak langsung yang berpotensi terjadi adalah tekanan terhadap kinerja ekspor DIY, seiring tingginya pangsa ekspor ke AS terhadap total ekspor DIY yang berkisar 40%. Selain itu, dampak turunan lain yang mungkin terjadi secara luas adalah penurunan perekonomian global maupun domestik. Kondisi ini dapat memicu penurunan daya beli masyarakat, seiring penyerapan tenaga kerja yang terbatas, termasuk penurunan jumlah wisatawan sehingga aktivitas pariwisata di DIY menjadi kurang optimal.
Dalam sejarahnya, kebijakan tarif resiprokal bukan yang pertama kali diterapkan. Kongres AS pada 1930 pernah menerapkan Smoot-Hawley Tariff Act untuk melindungi lapangan usaha (LU) pertanian dan industri pengolahan AS, namun dampaknya memicu penurunan perekonomian global pada masa Great Depression. Kondisi yang relatif serupa juga berpotensi terjadi saat ini, terlebih Tiongkok juga menetapkan kebijakan balasan dengan menaikkan tarif tambahan impor produk dari AS mencapai 84%. Implementasi kebijakan kedua negara tersebut membuat ekonomi global kembali menghadapi tekanan pasca pandemi Covid 19 dan memicu semakin tebalnya dinding pemisah perekonomian antar negara secara global.
Lebih jauh, Dani Rodrik dalam ulasannya mengenai Globalization Paradox menjelaskan bahwa globalisasi menawarkan peluang ekonomi yang besar namun di sisi lain juga memicu tantangan yang semakin kompleks dalam menjaga stabilitas ekonomi domestik. Richard Rosecrance dalam karyanya yang berjudul The Rise of the Trading State menjelaskan bahwa diplomasi ekonomi menjadi salah satu strategi penting dalam menjaga kinerja perekonomian. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengaruh diplomasi suatu negara akan membuat perekonomian relatif stabil seiring kemampuan membangun aliansi yang lebih baik dan daya saing yang lebih kuat. Hal ini menjadi relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, terlebih pemerintah Indonesia sedang dalam masa perundingan terkait tarif resiprokal dengan pemerintah AS.
Baca Juga: Abrasi Pantai Kramatsari Pemalang Kian Parah, Ahmad Luthfi Instruksikan Perbaikan Tanggul Kandang Jangkrik
Mengacu pada data Lowy Institute, pengaruh diplomasi Indonesia pada 2024 menempati peringkat ke-6 di Asia. Keberhasilan diplomasi ekonomi membutuhkan dukungan kuat berbagai pihak. Dalam konteks daerah, stabilitas kondisi sosial ekonomi masyarakat menjadi salah satu faktor fundamental tercermin dari daya beli yang terjaga. Upaya pengendalian inflasi DIY perlu terus diperkuat melalui peningkatan kepedulian dan peran aktif masyarakat dalam berbagai gerakan sosial pengendalian inflasi, stabilisasi harga dan kemudahan akses pasokan serta distribusi komoditas. Selanjutnya, kerjasama sister city yang dilakukan pemerintah daerah juga menjadi bagian penting dalam mendukung diplomasi ekonomi nasional. Saat ini, DIY telah menjalin kerjasama sister city dengan beberapa negara seperti Republik Ceko, Jepang, Nepal, Kroasia, dan Korea Selatan. Namun, program sister city DIY saat ini lebih banyak berupa kegiatan promosi, pemberdayaan ekonomi, dan penguatan kapasitas SDM, belum mendorong realisasi perdagangan ekspor-impor secara masif termasuk belum terdapat investasi fisik skala besar.
Berkaca pada kondisi tersebut maka perlu optimalisasi program sister city melalui kemitraan usaha dengan memfasilitasi business matching antar pelaku usaha. Lebih lanjut, penerapan tarif resiprokal perlu dipandang sebagai momentum peluang bagi DIY untuk menangkap potensi investasi dari negara lain yang melakukan relokasi usaha. Terkait hal ini, DIY perlu fokus dalam mengoptimalkan keunggulan kompetitif dan komparatifnya dengan basis ekonomi kreatif dan aktivitas pariwisata didukung oleh optimalisasi peran pendidikan tinggi. (Arya Jodilistyo, Ekonom Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY)