Pemimpin Bukan Dewa

Photo Author
- Sabtu, 31 Mei 2025 | 23:50 WIB
Drs. Martinus Parnawa Putranta, MBA., Ph.D.
Drs. Martinus Parnawa Putranta, MBA., Ph.D.

KRjogja.com - WASTE NO MORE TIME ARGUING WHAT A GOOD MAN SHOULD BE. BE ONE. Kalimat bijak ini diucapkan oleh Marcus Aurelius, seorang Kaisar Romawi yang juga dikenal sebagai filsuf Stoik. Ia memimpin salah satu kekaisaran terbesar dalam sejarah, namun tetap menulis secara pribadi tentang bagaimana menjadi manusia yang baik di tengah kekuasaan, tekanan, dan ketidakpastian.

Kata-katanya terasa menampar, terutama ketika dibaca dalam suasana kerja yang penuh keluhan, kritik, dan kecemasan terhadap siapa pun yang sedang memimpin. Di lingkungan seperti itu, pemimpin sering kali tampak seperti sasaran panah yang tak kunjung henti - apa pun yang dilakukan, selalu dianggap kurang, bahkan salah. Meski melakukan hal yang baik, apalagi jika sewenang-wenang, karena baru berkuasa. Namun, seberapa sering kita, para pengikut, bertanya pada diri sendiri: di mana posisi kita dalam ekosistem organisasi ini? Apakah kita ikut membangun, atau justru tanpa sadar menjadi bagian dari siklus yang melemahkan semangat kolektif?

Baca Juga: Berburu Podium Pertama di Kejurnas Sprint Rally 3, Diva Zahra Tertantang Taklukkan Sirkuti POJ City Semarang

Sebagai manusia yang bekerja dalam sistem, sering kali kita lupa bahwa organisasi bukan hanya soal siapa yang duduk di puncak hierarki, tetapi juga bagaimana lapisan-lapisan di bawahnya berkontribusi membentuk iklim yang ada. Kritik memang penting. Tetapi ketika kritik menjadi satu-satunya peran yang kita mainkan - tanpa inisiatif, tanpa kolaborasi, tanpa tanggung jawab moral - maka kita sedang menciptakan ruang yang rapuh. Ruang di mana siapa pun yang memimpin akan selalu jatuh dalam jebakan ekspektasi yang tak realistis.

Model yang ditawarkan Robert Kelley menyentil kita secara halus namun tajam. Ia membagi pengikut ke dalam lima tipe. Pertama, alienated followers, yakni mereka yang berpikir kritis namun memilih tidak aktif—sering kali sinis, merasa tahu yang benar, tetapi enggan terlibat langsung. Kedua, conformists, aktif namun tidak kritis; mereka mengikuti perintah tanpa banyak pertanyaan, bahkan ketika arah kebijakan tampak keliru. Ketiga, pragmatists, pengikut yang menyesuaikan diri dengan situasi; mereka cenderung berhati-hati dan baru bergerak jika aman. Keempat, passive followers, yang tidak aktif dan tidak berpikir kritis; mereka hanya menunggu instruksi, bahkan untuk hal-hal sederhana. Terakhir, tipe ideal menurut Kelley adalah exemplary followers, yakni mereka yang aktif, berpikir kritis, memberikan masukan secara konstruktif, dan turut menjaga nilai-nilai dalam organisasi.

Baca Juga: Riset Tunjukkan Mayoritas Perusahaan Tak Siap Hadapi Ancaman Siber, Ketua Asosiasi: Indonesia Butuh Kampus Spesialis Keamanan Siber

Sayangnya, diskursus kepemimpinan modern jarang membicarakan hal ini. Fokus nyaris selalu pada pemimpin: bagaimana ia mengambil keputusan, menginspirasi, atau menciptakan perubahan. Ketika sesuatu tak berjalan mulus, jari-jari pun otomatis menunjuk ke atas. Padahal, pemimpin bukan aktor tunggal di panggung organisasi. Banyak kegagalan tak lahir dari ketidaktahuan pemimpin, tetapi dari diamnya para pengikut yang tahu namun memilih untuk tak bersuara. Atau bersuara, tapi hanya di ruang-ruang informal yang tak menjangkau solusi.

Menariknya, Marcus Aurelius menulis kalimatnya bukan dari ruang nyaman, tetapi di tengah krisis militer dan kekacauan politik Kekaisaran Romawi. Ia sadar bahwa tanggung jawab moral bukan milik para pemimpin saja, tetapi juga mereka yang memilih untuk diam, menonton, atau menghindar. Pesan itu tetap hidup hingga hari ini: dunia kerja modern pun menantang kita bukan hanya untuk mengomentari, tetapi juga untuk menghidupi nilai-nilai yang kita anggap penting. Maka, sebelum kita melontarkan kritik berikutnya, barangkali perlu jeda sejenak.

Baca Juga: Dimintai Tebusan 80 Juta untuk Anaknya, Seorang Ibu Lapor Polisi

Bukan untuk menahan suara, tetapi untuk merefleksikannya: apakah kritik ini lahir dari kepedulian atau sekadar kebiasaan? Apakah kita sudah memainkan peran aktif sebagai pengikut yang bertanggung jawab? Marcus Aurelius mengingatkan kita untuk berhenti berdebat tentang siapa yang baik, dan mulai menjadi bagian dari kebaikan itu sendiri. Pertanyaannya kembali pada kita: di mana kita berdiri hari ini sebagai pengikut - dan apa yang ingin kita wariskan melalui peran itu? (Drs. Martinus Parnawa Putranta, MBA., Ph.D., Kepala Departemen Manajemen FBE UAJY)

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X