KRjogja.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUUXXII/2024 tentang pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah menjadi babak baru dalam arsitektur demokrasi Indonesia. Namun, jika ditelusuri jejak putusan-putusan MK terkait desain pemilu sebelumnya, muncul pertanyaan mendasar: Apakah Mahkamah Konstitusi konsisten dalam menafsirkan konstitusi, atau justru terseret dalam pusaran politik praktis yang memaksa mereka untuk terus berubah-ubah?
Sebagai Hof van de Grondwet (Pengadilan Konstitusi), MK seharusnya menjadi benteng terakhir bagi rechtszekerheid (kepastian hukum) dan bestendige rechtspraak (yurisprudensi yang stabil). Namun kenyataannya, Mahkamah Konstitusi justru terkesan gamang mudah bergeser dalam pengambilan putusan yang menyangkut sistem pemilu. Sebelumnya Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, MK dengan lantang memerintahkan pemilu serentak nasional dan daerah sebagai model konstitusional demi mewujudkan kesetaraan suara dan efektivitas pemerintahan.
Argumentasi yang dibangun saat itu berakar pada evenredigheid (proporsionalitas) dan democratische legitimiteit (legitimasi demokratis). Lima tahun berselang, Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, memperkuat desain pemilu serentak, bahkan menyatakan bahwa keserentakan pemilu adalah desain yang ideal demi memperbaiki sistem presidensial. Kemudian pada 26 Juni 2025, dalam Putusan Nomor 135/PUUXXII/2024, justru membatalkan paradigma tersebut dan memerintahkan pemisahan pemilu nasional dan daerah dengan alasan beban teknis dan kualitas demokrasi. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Kendatipun Keputusan MK tersebut manifestasi judicial activism yang menempatkan MK bukan sekadar sebagai negative legislator, tetapi telah memainkan peran sebagai positive constitutional guardian dalam mengarahkan sistem ketatanegaraan menuju desain yang lebih ideal, namun apakah Mahkamah Konstitusi begitu mudah mengubah haluan raison d'être (alasan keberadaan) hukum hanya karena dinamika politik dan kepentingan sesaat?
Dinamika Politik atau Kehendak Konstitusi?
Perubahan sikap MK yang dramatis menimbulkan dugaan kuat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak lagi steril dari arus besar politik elektoral. Putusan MK dalam berbagai perkara pemilu tampaknya lebih banyak dipengaruhi oleh konteks pragmatis ketimbang pertimbangan konstitusional yang stabil. Dalam filsafat Yunani, Nomos (aturan) seharusnya berdiri tegak, bukan menjadi kaleidoskop yang berubah-ubah mengikuti bayangan politik sesaat. Inkonsistensi ini mengikis vertrouwen (kepercayaan) publik terhadap integritas MK sebagai the guardian of the constitution.
Lebih mengkhawatirkan lagi, perubahan sikap MK dalam perkara pemilu kerap tidak diikuti oleh rechtsontwikkeling (pengembangan hukum) yang memadai dalam sistem perundang-undangan. MK membangun loncatan putusan yang memaksa perubahan sistemik tanpa menyediakan cukup ruang bagi pembentuk undang-undang untuk merespons secara terencana. Ini bukan sekadar rechtsverandering (perubahan hukum), melainkan sebuah juridische chaos (kekacauan hukum).
Judicial Inconsistency: Sebuah Bahaya Konstitusional
Kerapuhan Mahkamah Konstitusi dalam menjaga konsistensi putusan pada akhirnya menimbulkan bahaya laten bagi bangunan Hukum Tata Negara Indonesia. Putusan-putusan yang saling bertentangan dalam tempo singkat menimbulkan rechtsverwarring (kebingungan hukum) bagi penyelenggara pemilu, peserta, dan rakyat sebagai pemilih.
Bukankah Mahkamah Konstitusi harus menjadi nomophylax (penjaga hukum) yang konsisten dan memberikan arah? Jika MK terjebak dalam pola seperti ini, Mahkamah justru terkesan sebagai arena politieke simulatie (panggung simulasi politik) yang kehilangan kemuliaan akademiknya. Alih-alih menjadi pilar keadilan konstitusional, Mahkamah Konstitusi kini menghadapi risiko menjadi politieke gereedschap (alat politik) yang terselubung di balik jubah hukum. Inkonsistensi ini menurunkan auctoritas (kewibawaan) lembaga dan mengancam rechtsbestendigheid (ketahanan hukum) dalam jangka panjang.
Mahkamah Konstitusi harus melakukan refleksi mendalam atas perannya. Putusan tentang pemisahan pemilu adalah momentum penting, tetapi lebih dari itu, MK harus menjaga integritas garis tafsirnya. Jangan sampai MK dipersepsikan sebagai lembaga yang putusannya berganti sesuai cuaca politik.
Hakim Konstitusi seharusnya memeluk logos (rasionalitas hukum) dan menjauhkan diri dari pathos (emosi politik). Jika Mahkamah terus terombang-ambing tanpa konsistensi, patut ditanyakan, masihkah Mahkamah Konstitusi menjadi benteng keadilan konstitusional, atau telah menjadi pemain dalam panggung politik yang penuh sandiwara? (Dr Benediktus Hestu Cipto Handoyo SH MH, Dosen Fakultas Hukum UAJY)