KRjogja.com - BERALIHNYA dunia menjadi serba digital saat ini telah menyasar berbagai sektor, tidak terkecuali sektor keuangan. Sektor keuangan menjadi salah satu sektor yang cukup progresif dalam hal digitalisasi, salah satu aspeknya adalah pembayaran. Dulu, uang tunai adalah raja. Setiap transaksi di warung, pasar, hingga mal besar bergantung pada lembaran rupiah. Lalu, datanglah era kartu debit dan kredit yang mengubah kebiasaan masyarakat urban. volusi sejati terjadi ketika QR Code diperkenalkan—dan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) menjadi standar nasional. Dengan satu kode untuk semua pembayaran digital, masyarakat Indonesia mulai meninggalkan dompet fisik dan berpindah ke dompet digital.
Saat ini transformasi sistem pembayaran digital Indonesia menuju era nirsentuh dan ultra-cepat. Proses pembayaran canggih ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia era modern. Tren ini tak hanya menjadi gaya hidup, tetapi juga kebutuhan. Pandemi Covid-19 juga mempercepat transisi ke transaksi nirsentuh, dan QRIS pun meledak dalam penggunaannya. Baru-baru ini, Indonesia memasuki babak baru lagi: QRIS Tap, sistem pembayaran berbasis teknologi Near Field Communication (NFC) yang menjanjikan kecepatan dan kemudahan lebih tinggi—cukup tempelkan ponsel ke mesin, dan transaksi selesai dalam hitungan detik.
Dalam praktiknya, pengguna cukup membuka aplikasi pembayaran yang mendukung QRIS Tap, lalu mendekatkan ponsel ke mesin EDC atau reader yang kompatibel. Dengan QRIS Tap, transaksi selesai dalam sekejap, dimana sering kali dalam waktu kurang dari satu detik. Berbeda dengan QRIS konvensional yang mengharuskan pengguna memindai barcode atau sebaliknya merchant memindai kode dari ponsel pelanggan, QRIS Tap mampu menghilangkan langkah tersebut dan terbukti digemari oleh pengguna. Berdasarkan data sampai dengan bulan Juni 2025, 47.8 juta pengguna telah memiliki fitur QRIS Tap. Selain pengguna, jumlah merchant yang mendukung QRIS Tap meningkat tajam yang awalnya 646 merchant kemudian menembus 648.034 merchant. Hal ini menandakan bahwa QRIS Tap adalah adopsi digital yang mumpuni.
QRIS Tap yang hadir per bulan Maret 2025 memiliki banyak manfaat. Bagi banyak pelaku usaha, terutama sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), kehadiran QRIS Tap membawa angin segar karena proses transaksi yang lebih cepat membuat antrean pelanggan terurai lebih efisien. Dari sisi konsumen, dimana kenyamanan adalah kunci maka dengan QRIS Tap, pengguna tak perlu lagi membuka kamera, memfokuskan scan, atau menunggu loading aplikasi terlalu lama. Cukup aktifkan fitur NFC di ponsel, tempelkan sebentar, dan transaksi selesai.
Namun demikian kemunculan QRIS Tap menimbulkan satu pertanyaan besar: akankah ia menggantikan dominasi e-wallet berbasis barcode yang selama ini menguasai pasar?. Dengan kecepatan dan kemudahan yang ditawarkan, QRIS Tap berpotensi menjadi standar baru dalam pembayaran digital, terutama di ruang-ruang publik yang menuntut efisiensi tinggi. Namun, bukan berarti teknologi barcode akan langsung tergantikan. Banyak pengguna masih mengandalkan e-wallet populer seperti GoPay, OVO, Dana, dan ShopeePay yang berbasis pemindaian QR. Platform-platform ini telah membangun ekosistem yang luas, dengan loyalitas pengguna yang kuat dan integrasi layanan yang mendalam. Meski begitu, sebagian dari mereka sepertinya mulai bersiap menyesuaikan diri—memastikan bahwa aplikasi mereka kompatibel dengan fitur tap-to-pay, demi menjaga relevansi di tengah perubahan lanskap.
Transformasi teknologi tak hanya ditentukan oleh seberapa canggih perangkat yang digunakan, tetapi juga oleh seberapa siap masyarakat mengubah kebiasaannya. QRIS Tap mungkin menghadirkan kemudahan, kecepatan, dan efisiensi luar biasa, namun semua itu tidak akan berarti jika tidak diiringi dengan kesiapan ekosistem dan adaptasi perilaku pengguna. Masyarakat Indonesia sampai dengan saat ini telah membuktikan bahwa mereka mampu beradaptasi dengan perubahan, dari uang tunai ke kartu, dari scan barcode ke dompet digital. Kini saatnya melangkah lebih jauh—cukup satu tap, dan transaksi pun selesai. Refleksi saat ini bukan lagi apakah teknologi ini akan berkembang, tapi seberapa cepat kita siap ikut berubah? (Elizabeth Fiesta Clara Shinta Budiyono,S.M.,M.M, Dosen Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta)