Dilema Fiskal

Photo Author
- Minggu, 13 Juli 2025 | 17:31 WIB
Jonathan Ersten Herawan.
Jonathan Ersten Herawan.

KRjogja.com - PADA paruh pertama tahun 2025, defisit anggaran negara (APBN) melebar ke Rp197 triliun, dengan proyeksi defisit sepanjang tahun sebesar Rp662 triliun atau setara 2,78% dari PDB. Untuk menutup kekurangan tersebut, Menteri Keuangan mengajukan permohonan kepada DPR untuk menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp85,6 triliun. Permintaan ini mencerminkan perlambatan penerimaan negara, baik dari pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sementara belanja pemerintah tetap tinggi dan bahkan mengalami peningkatan.

Pada saat terjadinya Pandemi COVID-19, periode paruh pertama 2020 hingga 2022, realisasi APBN konsisten berada pada kisaran 47,7% hingga 58,1% dari target. Hal ini kontras dengan realisasi yang hanya 40% pada paruh pertama tahun 2025. Ini menandakan bahwa penerimaan negara di semester I 2025 lebih buruk dibandingkan masa-masa kritis pandemi. Perbandingan tahun ke tahun juga menunjukkan bahwa penerimaan menurun sebesar 9% dibandingkan periode yang sama tahun 2024.

Baca Juga: Rembug Budaya Pasederekan Trah HB II Semarak dan Produktif

Dari sisi pengeluaran, pemerintah mengklaim telah melakukan efisiensi anggaran dalam skenario pesimistis akibat turunnya pendapatan. Namun, realisasi belanja pemerintah pada semester I 2025 justru mencapai Rp1.406 triliun, naik tipis 0,57% dibandingkan tahun sebelumnya. Pertanyaannya, mengapa belanja pemerintah masih meningkat meskipun pendapatan menurun?

Indeks Manufaktur (PMI) Indonesia mengalami kontraksi selama tiga bulan berturut-turut dimana hanya sebesar 46,9 pada Juni 2025, hal ini mengindikasikan melemahnya aktivitas manufaktur domestik dan ekspor. Penurunan ini disebabkan oleh melemahnya daya beli, banyaknya hari libur dan cuti bersama, ketidakpastian kebijakan pemerintah, serta krisis global value chain. Kontraksi ini menjadi peringatan dini bahwa produksi dan lapangan kerja dapat semakin melemah.

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga menurun dari 121,7 pada April menjadi 117,5 pada Mei 2025 menjadi level terendah sejak September 2022. Penurunan signifikan terjadi pada sub-indeks terkait kondisi ekonomi riil, prospek pendapatan, dan kesempatan kerja. Laporan LPS bulan Juni turut mengonfirmasi tren ini, menunjukkan bahwa konsumen semakin berhati-hati dan memilih untuk meningkatkan tabungan.

Baca Juga: MPLS Ramah, Lingkungan Belajar Penuh Karakter

Penurunan ini dapat dimengerti, namun tetap mengkhawatirkan mengingat gelombang PHK yang melemahkan daya beli dan konsumsi domestik yang berisiko terus lesu. Kebijakan pemerintah yang sering berubah-ubah, tergesa-gesa, minim dialog serta sosialisasi yang kurang, semakin memperdalam ketidakpastian dunia usaha dan konsumen.

Meskipun defisit sebesar 2,78% terhadap PDB dinilai masih "terkendali", angka tersebut jauh dari ideal. Konsolidasi fiskal untuk menjaga rasio utang pada kisaran 30% terhadap PDB menjadi krusial. Pemerintah juga harus merespons skeptisisme lembaga internasional yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena tekanan terhadap ekspor dan investasi.

Program yang digagas Pemerintah seperti Danantara, Koperasi Merah Putih, Program 3 Juta Rumah, MBG, dan pengembangan sekolah unggul memiliki potensi besar, namun dampaknya belum terlihat secara nyata hingga semester I 2025. Efek makroekonomi positif dari inisiatif-inisiatif ini belum kunjung muncul.

Baca Juga: Ujicoba dengan Persik Kediri, Van Gastel Beri Sorotan Fisik Pemain PSIM

Karena itu, diperlukan kebijakan Pemerintah jangka pendek yang mampu menjaga pertumbuhan ekonomi untuk menjaga pertumbuhan 5–6% per tahun guna keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Program padat karya yang lebih masif, dukungan produktif untuk usaha, serta debirokratisasi yang diiringi dengan efisiensi kualitas dan kuantitas di tubuh Pemerintah harus dilakukan.

Indonesia berada di persimpangan jalan: defisit membesar, belanja meningkat, daya beli yang lemah, serta sektor manufaktur yang lesu. Program Pemerintah menjanjikan dalam jangka panjang tetapi belum mampu menjawab tantangan perekonomian saat ini.

Jika pemerintah secara proaktif memperkuat fondasi ekonomi melalui konsolidasi fiskal, insentif manufaktur, dan stimulus masyarakat yang tepat sasaran, maka risiko kontraksi dan lemahnya kepercayaan bisa ditekan. Sebaliknya, jika restrukturisasi anggaran ditunda, maka ekonomi berisiko tetap tertekan dalam jangka panjang. (Jonathan Ersten Herawan, pengurus ISEI Cabang Yogyakarta & Wakakomtap II Kajian Kebijakan Publik Kadin Indonesia)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X