KRjogja.com - RISIKO reputasi adalah risiko yang timbul akibat menurunnya kepercayaan publik atau pemangku kepentingan terhadap integritas, kredibilitas, dan profesionalisme suatu individu, organisasi, atau institusi. Dalam konteks dunia riset dan pendidikan tinggi, risiko reputasi merujuk pada kemungkinan rusaknya citra dan kepercayaan terhadap lembaga pendidikan atau peneliti akibat tindakan, publikasi, atau kebijakan yang melanggar etika, tidak transparan, atau tidak sesuai dengan standar akademik. Reputasi perguruan tinggi bukan hanya ditentukan oleh peringkat global tetapi juga oleh kualitas dan integritas riset yang dihasilkannya.
Baru-baru ini, dunia pendidikan tinggi Indonesia kembali diguncang oleh temuan mengejutkan: sebanyak 13 perguruan tinggi Indonesia tercatat berada dalam zona risiko integritas penelitian, sebagaimana dilaporkan dalam Research Integrity Index (RI²) yang dirilis oleh peneliti internasional, Lokman Meho. Lima kampus masuk zona merah (kategori risiko tinggi), tiga berada di zona oranye (risiko sedang tinggi), dan lima lainnya di zona kuning (risiko sedang). Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah cermin wajah akademik kita yang sedang berjuang dengan krisis integritas. RI² bukan sekadar peringkat reputasi. Indeks ini mengevaluasi kampus berdasarkan dua indikator penting: 1). Jumlah artikel yang ditarik (retracted) karena pelanggaran etik, seperti plagiarisme,datapalsu,ataumanipulasi; 2). Proporsi artikel yang dipublikasikan di jurnal bermasalah, termasuk jurnal predator atau yang telah dicabut dari basis data ilmiah internasional seperti Scopus dan Web of Science. Dengan kata lain, indeks ini menyoroti sejauh mana suatu institusi menjaga kebersihan etika dalam produksi ilmunya.
Masuknya belasan kampus Indonesia dalam daftar ini menjadi sinyal kuat bahwa reputasi riset nasional sedang berada dalam ancaman serius. Ini bukan hanya tentang institusi tertentu, tetapi menyangkut kredibilitas keilmuan bangsa secara keseluruhan. Dampak langsung dan jangka panjang risiko reputasi riset bukan persoalan internal kampus semata. Ini berdampak luas dan nyata: 1). Keraguan Kolaborasi Internasional: Mitra asing bisa saja menghindari kerja sama dengan institusi yang memiliki catatan integritas buruk; 2). Turunnya Kepercayaan Publik: Masyarakat akan makin skeptis terhadap hasil riset dan kebijakan berbasis penelitian, terutama jika disusun oleh lembaga yang integritasnya dipertanyakan; 3). Mandeknya Inovasi: Tanpa integritas, riset kehilangan makna. Inovasi yang dihasilkan pun rentan cacat sejak dalam konsepsi. Akar Masalah: Sistemik dan budaya masalah integritas riset di Indonesia bukan hanya soal individu yang melanggar, tetapi juga cerminan dari sistem akademik yang permisif danbudaya ilmiah yang belum matang. Solusi: Jujur dan Berani.
Tidak bisa menambal reputasi dengan pencitraan. Perlu langkah jujur dan berani untuk memperbaiki: 1). Audit dan Transparansi: Kampus harus secara terbuka mengevaluasi artikel bermasalah yang pernah diterbitkan, dan mengambil tindakan korektif terhadap pelanggaran yangterjadi; 2). Pendidikan Etika Riset: peneliti harus dibekali pemahaman menyeluruh tentang etika publikasi dan tanggung jawab ilmiah; 3). Reformasi Penilaian Kinerja Akademik: Kualitas harus lebih dihargai daripada kuantitas. Insentif harus diberikan untuk publikasi bermutu, bukan sekadar banyaknya terbitan. Ketika riset kehilangan integritas, maka ilmu berubah menjadi komoditas kosong. Laporan RI² harus menjadi cermin tajam, bukan sekadar dibantah atau disangkal, tetapi direnungkan sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri. Reputasi riset adalah aset jangka panjang bangsa. Ia tak dibangun dengan kecepatan, tetapi dengankonsistensimoraldankomitmenintelektual.(Deny Ismanto SE MM, Dosen Program Studi Manajemen FEB UAD/Wakil Sekretaris ISEI DIY)