*Oleh: Dr Isniatun Munawaroh, M.Pd
Pemerintah telah menetapkan arah besar melalui Kurikulum Merdeka, yang menekankan penerapan deep learning—pendekatan yang mendorong pemahaman bermakna, refleksi mendalam, dan partisipasi aktif siswa. Namun, keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada fondasi pendidikan secara menyeluruh. Sayangnya, kendala seperti kesenjangan teknologi dan rendahnya literasi digital di kalangan guru, terutama di sekolah non-unggulan, masih membayangi.
Menurut kerangka pembelajaran mendalam, pendekatan ini dirancang sebagai siklus pembelajaran yang komprehensif: mulai dari tahap pemahaman, menggembirakan, reflektif, sadar, hingga akhirnya penerapan. Seluruh tahap ini dilandasi oleh prinsip “mindful”, “meaningful”, dan “joyful” dengan tujuan mencetak pelajar yang tidak hanya kritis dan kreatif, tetapi juga memiliki nilai kemandirian, kolaborasi, etika, estetika, dan spiritual. Proses tersebut dimungkinkan melalui praktik pedagogis yang baik, pemanfaatan teknologi digital, serta kemitraan antar insan pendidikan dan masyarakat, sehingga pembelajaran menjadi relevan dan kontekstual.
Namun, benarkah semua sekolah kita siap? Dari pengamatan lapangan, terdapat banyak sekolah yang hanya memiliki akses internet terbatas sering kali hanya ada di kantor kepala sekolah sementara siswa dan guru masih mengandalkan metode tradisional seperti ceramah dan hafalan. Di beberapa tempat, satu komputer bahkan harus dipakai bergantian oleh beberapa kelas, dan gangguan jaringan menjadi hal rutin.
Masalahnya bukan hanya soal perangkat, tapi juga kemampuan menggunakan teknologi secara efektif. Guru, khususnya yang sudah lama bertugas, masih merasa canggung menggunakan platform digital dan belum siap merancang pembelajaran yang mampu memfasilitasi deep learning. Kurangnya pelatihan berkelanjutan dan pendampingan teknis membuat situasi ini semakin sulit.
Jejak program pemerintah sebenarnya sudah terlihat: distribusi perangkat dan pelatihan daring/luring telah dilakukan, namun pendekatan yang digunakan masih bersifat top‑down dan terlalu umum. Seringkali pelatihan tidak menyentuh masalah praktis di lapangan, dan pendistribusian tanpa pendampingan menjadikan perangkat tersebut mubazir.
Pengalaman langsung saya sebagai pendamping dan pelatih guru menunjukkan bahwa keberhasilan deep learning mensyaratkan akumulasi kesiapan holistik meliputi kesiapan digital, pedagogi kontekstual, serta sistem pendukung dari berbagai pemangku kepentingan. Melatih guru hanya setahun sekali tanpa follow‑up adalah cara belajar yang tidak efektif.
Model pelatihan berbasis coaching dan peer‑learning: implementasi yang dimulai dari kebutuhan lokal, dengan fasilitator lokal (kampus, LSM atau guru berdaya), serta sistem klaster antar sekolah adalah metode yang efektif. Dengan begitu, guru belajar dalam konteks nyata, saling mendukung, dan secara kolektif meningkatkan kemampuan mereka, tanpa menunggu intervensi pusat.
Terdapat beberapa keberhasilan terang misalnya di sekolah hasil pengamatan yang bermitra dengan komunitas dan universitas. Siswa diajak mengeksplorasi isu lokal dan menyusun solusi berbasis proyek nyata. Guru di sana tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai fasilitator berkolaborasi dengan mentor dari luar hal ini benar-benar mencerminkan ruh deep learning.
Namun, mayoritas sekolah lainnya yang minim perangkat dan dukungan teknis masih terjebak dalam rutinitas mengajar konvensional, sementara tuntutan untuk menyusun RPP deep learning dan melakukan asesmen reflektif terus mengalir. Jurang antara kebijakan yang ideal dan realitas lapangan pun semakin melebar.
Jika kita ingin menjadikan deep learning sebagai inti Kurikulum Merdeka, maka harus dimulai dengan memperkuat fondasi: akses dan infrastruktur digital, literasi guru yang memadai, serta ekosistem dukungan kolaboratif dari pemerintah daerah hingga komunitas edukasi. Tanpa itu semua, transformasi pembelajaran mendalam hanya akan berhenti menjadi jargon di atas kertasbukan praktik nyata di ruang kelas. (*)
*Penulis adalah staf pengajar di Departemen Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta