KRjogja.com - BADAN PUSAT STATISTIK (BPS) pada 2024 mencatat bahwa jumlah wirausahawan di Indonesia hanya sebesar 3,35 persen dari total angkatan kerja. Padahal untuk menjadi negara maju, persentase pengusaha harus mencapai minimal 4%.
Mengapa penduduk Indeonesia, terutama generasi muda, kesulitan menjadi wirausahawan? Ada banyak faktor yang mempengaruhinya, salah satunya adalah strategi pembelajaran.
HANYA MENGEJAR RENTE
Hal kewirausahaan nampaknya hanya dipandang sebagai ‘menjual produk’. Ada sekolah yang mengajarkan kewirausahaan dengan membeli barang atau makanan kemudian dibungkus dengan logo sekolah mereka. Setelah itu barang atau makanan tersebut dijual dengan harga yang lebih mahal. Ini bukan kewirausahaan tetapi praktek broker (percaloan). Mengapa?
Dalam praktek tersebut tidak ada inovasi atau mengembangkan sesuatu yang baru. Mereka hanya mengejar rente. Praktek seperti inilah yang menghancurkan pereknomian Indonesia. Perusahaan yang terkait dengan praktek percaloan yang terbesar adalah Petral (Pertamina Trading Limited) yang pada 2015 dibubarkan oleh pemerintah. Petral ternyata hanyalah perantara yang mengejar rente dan merugikan negara. Praktek ini juga ada dikalangan masyarakat desa, seperti pengepul atau tengkulak, mereka adalah pengusaha yang hanya mengejar rente.
POTENSI KEWIRAUSAHAAN DI SEKOLAH
Ada begitu banyak potensi yang sebenarnya dapat dikembangkan di seputaran sekolah. Di daerah Salam dan Tempel (perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta) ada perkebunan salak pondoh yang besar. Namun nampaknya sekarang mulai pudar. Walaupun pemerintah sudah mengupayakan banyak hal untuk mengembangkan potensi kebun salak tersebut, namun hasilnya belum memuaskan.
Jika sekolah-sekolah di sekitar perkebunan salak tersebut meneliti cara membudidayakan salak maka di daerah itu akan ada pusat pengelohan salak yang mungkin menjadi yang terbesar di dunia. Sayangnya jarang sekali sekolah-sekolah di sekitar daerah itu yang serius mempelajari tentang salak. Pembelajaran mereka tidak kontekstual sehingga potensi kewirausahaan juga tidak berkembang.
Demikian pula, kasus sampah di Yogyakarta. Andaikata para pelajar hingga mahasiswa bergerak untuk mempelajari dan kemudian menanggulanginya maka kasus sampah akan teratasi secara intelektual. Hasil akademik ini dapat ditransformasi secara inovatif untuk dapat menjadi peluang bisnis yang berguna bagi banyak orang.
PENDIDIKAN DASAR DAN KEWIRAUSAHAAN
Kewirausahaan itu menyangkut 3 hal: inovasi, menggerakkan mesin ekonomi, dan membuka lapangan kerja baru. Jika ini diterapkan pada pendidikan dasar, SD dan SMP, maka kewirausahaan harus dikaitkan dengan pembelajaran mereka. Dengan demikian, kewirausahaan adalah hasil inovasi dari apa yang telah mereka pelajari atau teliti di sekolah masing-masing.
Namun, banyak guru yang hanya melakukan transfer materi dalam mengajar sehingga tidak muncul ide-ide kreatif. Pada saat itulah inovasi juga akan mati dan kewirausahaan sulit berkembang.
Atmosfir inovatif dapat dihidupkan dengan melaksanakan pembelajaran dialogis. Dalam pembelajaran ini, peserta didik memiliki kesempatan untuk berdialog tentang ide-ide mereka termasuk tentang kewirausahaan. Misal, setelah mereka mempelajari pembuatan echoenzim, mereka berdiskusi tentang bagaimana mengemas, mempromosikan, dan menjualnya.
Kewirausahaan juga tidak akan berkembang jika sejak dini, para generasi muda tidak dibiasakan untuk belajar mandiri dan kreatif. Pada jenjang TK, apakah mereka dapat memakai sepatu sendiri, makan sendiri, setelah makan mereka belajar mencuci piring sendiri? Mereka juga harus diajari untuk kreatif dengan membuat prakarya hasil pemikiran sendiri, menggambar berdasarkan imajinasi mereka sendiri, dan dapat menceritakan hasil kreasi mereka. Bukan hanya meniru gurunya.
Pembelajaran demikian itu akan membuat mereka mandiri, kreatif, dan sanggup mengutarakan ide mereka secara sistematis dan benar. Itu semua adalah keutamaan yang sangat dibutuhkan oleh para pengusaha yang berlandaskan pada inovasi. Inilah pembiasaan yang harus selalu ditanamkan sejak dini dalam strategi pembelajaran agar kelak persentase penduduk, terutama anak muda, yang masuk dalam kewirausahaan semakin tinggi.(Danang Bramasti, Kepala Yayasan Kanisius cabang Magelang)