KRjogja.com - MENILIK kembali kebijakan tarif yang diberlakukan Donald Trump pada masa kepemimpinannya menjadi cerminan pendekatan keras dan konfrontatif dalam pengambilan keputusan. Langkah tersebut tidak hanya memicu ketegangan dalam hubungan dagang global, terutama dengan Tiongkok, tetapi juga menimbulkan suasana ketakutan di lingkungan internal pemerintahan Amerika Serikat dan kalangan pelaku usaha.
Trump dikenal kerap mengambil keputusan secara sepihak, terkadang tanpa melalui proses konsultasi mendalam. Hal ini dapat membuat banyak pihak enggan menyampaikan masukan atau kritik terbuka. Fenomena tersebut memperlihatkan bagaimana gaya kepemimpinan otoriter dapat menghambat diskusi terbuka dan melemahkan kualitas pengambilan keputusan.
Situasi serupa tidak hanya terjadi dalam lingkup global, tetapi juga dapat dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Ketakutan untuk menyuarakan pendapat, khususnya kritik terhadap kebijakan pemerintah, menjadi isu yang semakin mencuat di ruang publik. Berdasarkan studi dari Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi cenderung menurun.
Baca Juga: Hadirkan Kesadaran Universal, Kemenag Luncurkan Kurikulum Berbasis Cinta
Potensi kekerasan, intimidasi, peretasan hingga doxing di media sosial menjadi faktor yang menyebabkan publik bersikap hati-hati saat menyuarakan kritik. Investor dan pelaku usahapun kerap mengalami hal serupa, hengkangnya investasi pada industri tertentu juga disebabkan adanya faktor ancaman dari pihak yang bahkan meminta “jatah” dalam bentuk uang.
Dalam skala yang lebih mikro, organisasi pun kerap mengalami situasi serupa. Di beberapa lingkungan kerja, perbedaan pendapat dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai masukan. Dalam konteks ini, muncul praktik fear mongering, yaitu penggunaan ketakutan secara sengaja untuk mengendalikan perilaku individu atau kelompok. Meskipun mampu memunculkan kepatuhan sesaat, praktik ini bertentangan dengan prinsip kepemimpinan modern yang menekankan pentingnya rasa saling percaya dan keterlibatan anggotanya.
Menurut teori kepemimpinan transformasional yang dikemukakan Bernard M Bass, seorang begawan teori kepemimpinan, pemimpin ideal adalah mereka yang mampu menciptakan iklim kerja yang mendukung, terbuka, dan penuh penghargaan. Salah satu konsep penting dalam teori ini adalah psychological safety, sebagaimana dikemukakan oleh Amy Edmondson, Professor dari Harvard Business School. Psychological safety merujuk pada kondisi ketika individu merasa aman untuk menyampaikan pendapat, bertanya, atau mengajukan ide tanpa takut akan konsekuensi negatif.
Baca Juga: Datangi Booth JNE, Anda Bisa Dapat Voucher Belanja dan Kirim Paket Gratis di EXPOSURE 2025
Namun, dalam lingkungan organisasi yang dikelola dengan pendekatan berbasis ketakutan, melalui ancaman tidak langsung, budaya menyalahkan, atau penekanan berlebihan pada hal negatif, membuat karyawan cenderung menahan diri untuk berbicara. Ketakutan akan sanksi atau penilaian buruk memicu stres berkepanjangan, yang akhirnya berdampak pada menurunnya fungsi kognitif, semangat kerja, hingga kolaborasi tim.
Jika dibiarkan, situasi ini akan berdampak serius terhadap produktivitas, melemahnya inovasi, tingkat ketidakhadiran meningkat, dan organisasi kehilangan semangat kolektif. Karyawan tidak lagi termotivasi oleh tanggung jawab, melainkan rasa takut. Ini menjadi gambaran nyata dari kelelahan organisasi.
Sebaliknya, organisasi yang mengedepankan empati, keamanan psikologis dan menerapkan gaya kepemimpinan yang otentik dan partisipatif justru akan mendapatkan kepercayaan serta keterlibatan tinggi dari anggotanya. Dalam jangka panjang, pendekatan ini mampu menciptakan lingkungan kerja produktif.
Baca Juga: Hadirkan Kesadaran Universal, Kemenag Luncurkan Kurikulum Berbasis Cinta
Pada akhirnya, penyebaran ketakutan, meskipun terkadang efektif untuk menimbulkan kepatuhan, bukanlah jalan menuju kepemimpinan yang efektif. Pemimpin perlu memahami bahwa kekuatan sejati tidak lahir dari rasa takut, melainkan dari kepercayaan yang tumbuh melalui keterbukaan dan penghargaan terhadap keberagaman. (Daniel Yudistya Wardhana SE.,MEI, Dosen Departemen Manajemen FBE UAJY)