KRjogja.com - MUSIK bikin hidup lebih berwarna, tapi aturan bikin pusing kepala. Musisi ingin dibayar adil, tapi kafe kecil kebingungan bayar kemana. Bagaimana sebenarnya aturan ini bekerja, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana kafe kecil bisa survive tanpa harus jadi kafe bisu?
Belakangan ini, polemik pembayaran royalti musik di kafe dan restoran telah menciptakan fenomena unik, banyak tempat usaha memilih hening daripada berisiko melanggar hukum. Kasus Mie Gacoan di Bali yang ditetapkan sebagai tersangka karena memutar lagu tanpa izin menjadi pemicu kekhawatiran pelaku usaha. Alih-alih memutar lagu, beberapa kafe beralih ke suara alam atau bahkan tidak memutar musik sama sekali.
Dari perspektif sosiologi, fenomena ini menarik untuk dikaji karena musik bukan sekadar hiburan, melainkan elemen budaya yang membentuk interaksi sosial, identitas ruang, dan pengalaman kolektif.
Interaksi sosial dibangun melalui simbol-simbol yang diberi makna bersama. Musik berfungsi sebagai simbol yang memengaruhi suasana, perilaku pengunjung, dan bahkan identitas suatu tempat. Tanpa musik, kafe kehilangan daya tarik sebagai ruang sosial. Musik sering menjadi pemantik obrolan atau pembentuk mood. Kafe yang sunyi bisa mengurangi durasi kunjungan dan frekuensi interaksi antar-pengunjung. Meski disisi lain situasi ini memicu kreativitas lokal, beberapa kafe beralih ke musik independen atau lagu ciptaan sendiri, seperti Jaaf Coffee Bar di Denpasar yang memproduksi lagu orisinal. Suara alam (kicau burung, gemericik air) menjadi alternatif yang justru menciptakan nuansa unik .
Henri Lefebvre dalam The Production of Space (1974) membedakan tiga dimensi ruang, yaitu ruang fisik (tempat duduk, dekorasi), ruang yang dirasakan (pengalaman pengunjung) dan ruang hidup (praktik sosial yang terjadi). Aturan royalti mempertegas bahwa musik di ruang komersial bukan lagi milik publik, melainkan komoditas yang harus dibayar. Hal ini bisa meminggirkan usaha kecil yang tak mampu membayar lisensi. Kafe besar mungkin tetap memutar musik, sementara UMKM terpaksa sunyi karena biaya royalti dianggap membebani. Sistem royalti seharusnya memberi keadilan ekonomi bagi musisi. Namun, masalah transparansi distribusi royalti masih menjadi tantangan.
Dalam kasus ini, terjadi konflik antara pelaku usaha (yang merasa royalti memberatkan), musisi (yang ingin hak ekonominya diakui) dan pemerintah & LMKN (sebagai regulator). Hal ini membentuk polarisasi sikap, sebagian kafe memilih memblokir lagu Indonesia, yang justru melemahkan industri musik lokal. Dan karena minimnya sosialisasi, banyak pelaku usaha belum paham aturan royalti, sehingga merasa dijebak.
Dari sudut pandang sosiologi, polemik royalti musik di ruang publik bukan sekadar persoalan hukum atau ekonomi, ini adalah kisah tentang fragmentasi ruang sosial di era modern. Musik di kafe bukan sekadar pengisi keheningan, melainkan ritual modern yang menciptakan ikatan emosional antar-pengunjung. Ketika musik menghilang, kafe kehilangan jiwanya, seperti warung kopi tanpa aroma biji sangrai.
Aturan royalti yang mulanya ditujukan untuk melindungi musisi, justru memperlebar jurang. Kafe besar tetap bisa memutar jazz dengan bayar mahal, menawarkan pengalaman eksklusif. Sementara UMKM terpaksa sunyi, atau lebih ironis memutar white noise yang justru mengasingkan pengunjung. Ruang publik yang demokratis ternyata tak semurah bayaran royaltinya.
Jalan tengah, mungkinkah? Weber mungkin akan mengajak kita berdamai dengan rasionalisasi, royalti harus ada, tetapi perlu reformasi sistem yang lebih transparan dan pro-UMKM, musik alternatif (kreativitas lokal) bisa jadi senjata melawan komodifikasi budaya. Yang terpenting, jangan biarkan ruang publik (kafe) tanpa musik atau kehilangan soundtrack-nya hanya karena aturan yang tak memahami denyut kehidupan sosial.
Masalah royalti musik adalah cermin dari masyarakat kita, penuh niat baik, tetapi seringkali terjebak dalam birokrasi yang mengabaikan esensi manusia, berbagi cerita, tertawa, dan mencipta makna bersama. Mungkin, yang kita butuhkan bukan sekadar aturan yang adil, tetapi juga ruang untuk mendengar, tak hanya musik, tapi juga suara-suara yang terpinggirkan dalam debat ini. Selamat memikirkan ulang soundtrack ruang sosial kita. (Puji Qomariyah, M.Si, Dosen Sosiologi Universitas Widya Mataram Yogyakarta)