KRjogja.com - MASIH segar dalam ingatan kita insiden Pati Kelabu 13 Agustus 2025. Duka membara dan membahana menelan korban kemanusiaan baik moril dan materil. Perlawanan rakyat Pati atas narasi kesombongan pemimpinnya Bupati Sudewo membuat kota Pati duka mendalam tiada tara. Sejarah merekam dengan kejadian anarkis kedua belah pihak dalam aspirasi pesan moral dan idealisme politik secara konstitusional dan membabi buta. Belum lama menjabat sebagai Bupati Pati, Sudewo menghadapi gejolak publik yang luar biasa akibat kebijakannya kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang mencapai 250%.
Asumsi menarik dan menggelitik kritikan tajam dan cadas datang dari seorang cucu sang Proklamator Bung Hatta, Gustika yang menilai bahwa bangsa Indonesia sedang tersesat dalam kepemimpinan yang penuh luka sejarah. Keterpilihan Presiden Prabowo Subianto adalah cacat hukum HAM dan kasus penculikan aktivis di era Orde Baru dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dianggap lahir dari celah konstitusi sebagai anak haram konstitusi. Artinya, kritikan Gustika lahir bukan atas dasar kebencian melainkan rasa cinta mendalam pada bangsa Indonesia.
Pertanyaannya adalah mengapa sekelompok manusia Indonesia terlibat dalam kasus korupsi dan pelakunya disebut koruptor?. Kata koruptor berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘perusak’, kata kerjanya ‘corummpo’ yang berarti menghancurkan dan memusnahkan. Mengapa sejumlah manusia Indonesia menjadi perusak?. Frederich Hegel, filsuf Jerman, dalam karyanya The Phenomenology of Mind (1967) bahwa korupsi tidak hanya menyangkut uang tetapi juga perusakan benda-benda, lingkungan dan manusia.
Hegel berbicara tentang sejarah perkembangan tahap kesadaran diri manusia (self consciousness). Pada tahapan awal, manusia sadar akan obyek lewat keinginan (desire) untuk pemenuhan kepuasan kebutuhan badaniah. Manusia menguasai obyek dengan menghancurkan dan merusaknya. Penghancuran demikian merupakan contoh prinsip kekuasaan negasi atau prinsip mematikan. Karena itu, tahap perkembangan kesadaran diri berikutnya manusia tidak dibunuh tapi diperhamba atau menjadi ‘manusia budak’ sebagai ciri masyarakat primitif dan feodal.
Dalam sikap hidup yang permisif atas materi dan kenikmatan yang kini dominan dan hegemonik, mayoritas bangsa ini kian kehilangan imajinasi kebangsaan dan kenegarawanan. Hidup merasa cukup kini hilang dalam kesadaran etis bangsa ini. Menumpuk-numpuk kekayaan dan mengejar kenikmatan pun jadi ‘etos’ baru seiring dengan maraknya korupsi. Dalam kemiskinan imajinasi dan kedangkalan cara berpikir kebesaran bangsa tidak lagi menjadi obsesi kolektif tetapi sekedar mitos.
Sifat konsumerisme yang diberhalakan telah mengubah kesadaran atas bangsa menjadi kesadaran atas ego pribadi dan kelompok. Kekayaan personal yang menjulang tinggi dianggap lebih mulia dibandingkan kesejahteraan yang terdistribusi bagi masyarakat. Bangsa ini cenderung dan terkesan semakin meng’aku’ (aku sebagai pusat kepentingan) tidak lagi meng’kita’ (kolektivitas sebagai orientasi nilai).
Masyarakat pun semakin permisif (serba boleh) dan kaum koruptor pun tidak lagi mendapatkan sanksi sosial berat, tetapi justru ‘dimaklumi’ bahkan disambut dengan selebrasi. Siapapun yang korupsi atau menjadi bagian persekongkolan perampok uang rakyat kini justru semakin populer dan ‘diterima’ publik. Meraih berbagai kenikmatan, kenyamanan, dan ‘kehormatan’ sosial tanpa mengenal batas telah menjadi pilihan mayoritas bangsa. Kerakusan pun menjadi watak yang sepenuhnya tidak lagi dikutuk, tetapi justru dirayakan.
Kita khawatir akan datang waktunya ke depan bahwa ukuran kebangsaan bukan lagi rasa senasib dan seperjuangan melainkan kekayaan tanpa mengenal rasa cukup. Artinya, siapapun tidak akan diakui sebagai bagian dari bangsa ini hanya karena kemiskinan. Klaim sebagai beban negara pun disematkan kepada kaum papa. Ke depan bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin berkapasitas negarawan berintegritas skill manajerial daripada penguasa-penguasa yang tidak lebih dari ‘satuan pengaman’ antek-antek bagi kepentingan negara asing.
Sudah saatnya Presiden Indonesia berikutnya yang terpilih nanti adalah yang berdiri paling depan memimpin pemberantasan korupsi dengan segala perspektifnya. Sudah saatnya kita pun meninggalkan kebiasaan lebih senang ditekan pihak asing yang tampaknya lebih peduli daripada kita sendiri terhadap pemberantasan korupsi di negeri kita sendiri. Sungguh malu rasanya untuk urusan ini saja kita masih memerlukan tekanan pihak lain. Semoga!.
(Dr Junaidi,S.Ag.,M.Hum.,M.Kom)