KRjogja.com - Tahun 2025 merupakan delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia dan sembilan puluh enam tahun Sumpah Pemuda. Saat yang tepat dan menjadi momentum reflektif dalam menggugah kesadaran bersama sebagai sebuah bangsa. Sejak 28 Oktober 1928, ikrar “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” menjadi titik awal kesadaran kolektif lintas generasi untuk membangun Indonesia. Namun di era digital yang semakin kompleks, makna Sumpah Pemuda menantang realitas lima generasi yang kini hidup berdampingan, dari Baby Boomer hingga Generasi Alfa, untuk menafsirkan ulang semangat persatuan dalam konteks kekinian.
Menurut Badan Pusat Statistik (2024), jumlah pemuda Indonesia (usia 16–30 tahun) mencapai 64,22 juta jiwa, atau sekitar 22,99 % dari total populasi. Data APJII (2025) mencatat, 80,66 % penduduk Indonesia kini pengguna internet aktif, dengan dominasi Generasi Z (34,4 %) dan Milenial (30,6 %). Fakta ini menujukkan bahwa kekuatan sosial bangsa sedang bergeser dari pengalaman menuju konektivitas digital.
Namun di balik optimisme itu, persoalan tetap nyata. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia pada Februari 2025 mencapai 4,76 % atau 7,28 juta orang, dengan kelompok usia muda (15–24 tahun) menanggung TPT tertinggi sebesar 16,16 % (BPS, 2025). Artinya, sebagian besar pemuda hari ini berjuang keras mencari ruang aktualisasi di tengah kompetisi global dan tekanan ekonomi.
Menko PMK Muhadjir Effendy menegaskan bahwa “pemuda lintas generasi harus menjadi jembatan, bukan jurang pemisah. Persatuan hari ini tidak lagi hanya soal bahasa dan bangsa, tetapi juga solidaritas digital dan ekonomi” (Kompas, 2024). Pandangan ini menyoroti tantangan baru yakni bukan hanya menjaga nilai-nilai lama, tetapi juga menegosiasikan ulang bentuk kebersamaan dalam lanskap modern. Sumpah Pemuda kini tidak cukup hanya dimaknai sebagai simbol sejarah, tetapi harus diwujudkan dalam kolaborasi lintas generasi untuk menjawab tantangan disrupsi teknologi dan polarisasi sosial.
Perbedaan Peran Strategis dan Dinamika antar Generasi
Baby Boomer dan Gen X sering disebut penjaga nilai melalui stabilitas, integritas, dan pengalaman sejarah. Banyak dari generasi ini, sekarang masih memegang jabatan strategis di berbagai birokrasi, pemerintahan, dan lembaga sosial. Kedua generasi tidak hanya menjaga kesinambungan moral tetapi juga arah kebijakan bangsa. Namun, sejumlah kritikan muncul ditujukan pada generasi ini karena dianggap lamban beradaptasi dengan teknologi dan cenderung mendominasi ruang wacana. Sehingga berdampak pada kurangnya partisipasi suara generasi muda dalam proses pengambilan keputusan.
Sebaliknya, Generasi Milenial (Gen Y) dan Gen Z menjadi motor penggerak perubahan sosial. Keterbukaan, kreatifitas, dan ketrampilan berinovasi di ruang digital, menjadi ciri khas keduanya. Mereka aktif menggagas gerakan sosial, kampanye lingkungan, dan inovasi kewirausahaan yang progresif. Namun, kedua generasi ini menghadapi tantangan serius yakni polarisasi media sosial, budaya instan, dan rendahnya daya tahan/resiliensi terhadap kegagalan. Tantangan mereka bukan hanya membangun suara, tetapi juga menjaga konsistensi perjuangan seiring cepatnya perubahan sosial dan bisnis.
Sementara Generasi Alfa, meski masih anak-anak, hidup dalam dunia kecerdasan buatan dan realitas digital penuh algoritma. Gen A adalah “masa depan nilai” yang harus disemai sejak dini. Pendidikan karakter dan literasi digital, dan kesadaran kebangsaan menjadi kunci agar semangat Sumpah Pemuda tetap tumbuh dalam kesadaran generasi mendatang.
Tema nasional tahun 2025 dalam rangka kemerdaan Indonesia ke-80, diluncurkan Presiden Prabowo Subianto, “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”, menegaskan arah bangsa menuju kemandirian dan kesejahteraan. Dalam konteks lintas generasi, tema ini memanggil semua lapisan untuk bekerja bersama: Boomer dan Gen X sebagai penjaga arah, Milenial dan Gen Z sebagai penggerak inovasi, serta generasi Alfa sebagai penerus cita-cita.
Tantangan utama bukan lagi konflik antarusia atau antar generasi, akan tetapi bagaimana setiap generasi bersedia berbagi peran dan saling mendengar. Sebab, Sumpah Pemuda sejatinya bukan hanya sejarah 1928 semata, tetapi juga cermin masa depan. Dengan demikian, gema persatuan tidak berhenti pada seruan, melainkan harus dihidupi dalam tindakan nyata lintas generasi menuju masyarakat madani. (Rustiana, S.E., M.Si., Ph.D., Dosen Akuntansi FBE UAJY, pemerhati masalah pendidikan dan social)