Pemuda di Era Akal Imitasi

Photo Author
- Jumat, 31 Oktober 2025 | 07:59 WIB
Maman Suryaman.
Maman Suryaman.

KRjogja.com - KITA baru saja memperingati Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928-28 Oktober 2025. Usianya sudah 97 tahun dan tiga tahun ke depan tepat berusia satu abad. Mari kita sedikit mengenang pemuda di tahun 20-an. Ada beberapa nama: Muh Yamin, Sutan Takdir Alisyahbana, Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, WR Supratman, Mohammad Roem, Johannes Leimena, dan lain-lain. Mereka membentuk organisasi pemuda: Budi Utomo (1908), Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Ambon (1918), Jong Batak Bond (1925). Organisasi tersebut representasi semangat baru para pemuda Indonesia untuk memperjuangkan lahirnya bangsa Indonesia.

Dengan tampilan perlente dan bercelana pendek namun literasi mereka begitu kuat sekalipun serba terbatas. Mereka para pembaca yang handal, pemikir yang kritis dan kreatif, serta mudah beradaptasi untuk berkolaborasi. Mereka adalah simbol pemuda dengan karakter yang luar biasa. Mereka menjadi agen perubahan: kebangkitan nasional, sumpah pemuda, dan kemerdekaan.

Bagaimana dengan pemuda di era akal imitasi (AI)? Akal imitasi – istilah yang merujuk pada kecerdasan buatan. AI telah mengubah cara manusia bekerja, berinteraksi, dan mengambil keputusan. Namun, AI hanya mampu mengimitasi logika, tidak mampu menyentuh dimensi emosional dan etika yang menjadi hakikat dari kemanusiaan. Artinya, AI tidak akan pernah meggantikan manusia sepanjang manusia memiliki kemampuan untuk memadukan antara kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan adaptif dengan kecepatan kecerdasan teknologi.

Dengan kata lain, pemuda saat ini harus mampu menjadi agen perubahan dan sekaligus arsitek digital masa depan. Para pemuda harus memiliki kekuatan yang prima, ketekunan yang mumpuni, dan karakter yang kuat. Seringkali kecerdasan akademik dan teknologis mengalami perlambatan karena faktor karakter.

Seorang ilmuwan bernama Al Khawarazmi menjawab pertanyaan ahli matematika tentang nilai manusia. Al Khawarizmi menjawab: Jika manusia berkarakter, nilainya 1. Jika manusia itu rupawan, tambah dengan satu kosong menjadi 10. Jika manusia itu banyak harta, tambah lagi nolnya menjadi 100. Jika manusia itu bangsawan, maka tambah lagi nolnya menjadi 1000. Jika hilang karkter -- yakni angka 1 -- maka hilanglah segalanya: kerupawanan, kekayaan, dan kebangsawanan punah sudah. Nilai manusia menjadi kosong. Berapapun digit 0 kita buat, tetap tanpa angka 1 menjadi tidak berarti.

Betapa pentingnya karakter sehingga banyak negara menjadikan karakter sebagai prioritas utama pendidikan. Jepang, misalnya, mengutamakan pendidikan karakter di tiga tahun pertama pendidikan anak usia dini. Sebagai contoh, saat berada di kelas musik, anak-anak diutamakan bermain musik dan bernyanyi. Guru tidak berteori tentang musik. Semua siswa fokus belajar dan patuh pada aturan: tidak boleh menyentuh alat musik tanpa seizin guru dan siswa harus hormat kepada guru.

Saat makan siang semua siswa berbaris antre untuk mendapatkan makan. Setiap siswa mengambil makan sesuai aturan dengan disiplin dan penuh tanggung jawab. Selesai makan, piring yang bersih dari sampah makanan ditaruh di mesin pencucian. Menariknya, siswa terkahir tetap mendaptakan jatah makan lengkap. Pengakuan atas kesabaran siswa sangat bernilai harganya bahwa mereka tidak harus khawatir kehabisan jatah makan.

Pemuda di era AI – selain dituntut memiliki kompetensi akademik dan teknologi – tuntutan lain adalah karakter. Stephen R. Covey dalam bukunya The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness menyatakan bahwa siapa menabur perbuatan, dia akan menuai kebiasaan; siapa yang menabur kebiasaan, dia akan menabur karakter. Dengan karakter, bukan tidak mungkin pemuda di era AI akan mencapai kesuksesan gilang-gemilang seperti gemilangnya seorang atlet panjat tebing Indonesia Veddriq Leonardo peraih emas Olimpiade Perancis 2024 dan Kaylia Nemour atlet Aljazair peraih medali emas Kejuaraan Dunia Senam 2025. Veddriq dan Nemour mencetak sejarah mustahil menjadi ketidakmustahilan. Ia melakukan cara-cara berbeda. Mereka mempersiapkan diri dengan cara yang berbeda. Persiapan yang belum pernah mereka alami sebelumnya, baik untuk Olimpiade maupun untuk Kejuaraan Dunia.

Bahagia dan usaha Veddriq dan Nemour seolah jadi pesan kepada Pemuda di Era AI bahwa tak ada yang mustahil karena kemustahilan adalah ketidakmustahilan itu sendiri. Kalau Nemour menjadi representasi ketidakmustahilan, ketidakmustahilan juga adalah kita. Artinya, Pemuda yang mampu beradaptasi, berinovasi, dan berpikir kritis tidak akan tergantikan oleh AI — justru akan mengendalikan AI. (Maman Suryaman, doktor bidang pendidikan bahasa Indonesia, guru besar bidang pembelajaran sastra, dan Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni UNY)

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X