KRjogja.com - OLAHRAGA sering dipandang sebagai simbol disiplin dan ketangguhan mental. Olah raga digambarkan sebagai solusi universal untuk stres dan penurunan kebahagiaan dalam berbagai promosi kesehatan. Namun di balik manfaat yang tak terbantahkan, ada paradoks yang mulai mencuat yakni olahraga yang dilakukan secara berlebihan justru dapat menurunkan daya lenting atau resiliensi mental.
Secara fisiologis, aktivitas fisik memang memicu pelepasan endorfin dan meningkatkan aliran darah ke otak, membantu pengaturan emosi tetapi ketika frekuensi atau intensitas olahraga melebihi kapasitas tubuh untuk pulih, sistem hormon stres seperti kortisol dapat terganggu. Akibatnya, alih-alih merasa segar dan fokus, seseorang justru mudah lelah, sulit tidur, dan lebih rentan terhadap kecemasan maupun iritabilitas.
Fenomena ini telah diamati secara ilmiah. Sebuah penelitian besar oleh Mayolas-Pi et al pada tahun 2025 terhadap lebih dari 7.000 remaja di Eropa menemukan bahwa sekitar 6–8 persen di antaranya menunjukkan kecenderungan berolahraga secara kompulsif dengan melatih diri tanpa memperhatikan rasa lelah atau sakit (Frontiers in Psychology). Hasil serupa tampak pada kalangan atlet elit. Lichtenstein dan timnya (2021) menemukan bahwa sekitar 7,6 persen atlet nasional menunjukkan gejala mirip ketergantungan olahraga (International Journal of Environmental Research and Public Health).
Gambaran yang lebih luas disampaikan oleh Trott et al dalam meta-analisis tahun 2020, yang menelaah 13 studi internasional. Mereka menemukan sekitar 5–8 persen populasi umum berisiko mengalami exercise addiction, dan kondisi tersebut berhubungan dengan peningkatan stres, kecemasan, serta depresi (Journal of Addiction Medicine). Dengan kata lain, olahraga yang dilakukan tanpa keseimbangan dapat menjadi sumber tekanan baru bagi sebagian orang.
Beberapa studi juga menunjukkan bahwa manfaat psikologis olahraga mengikuti pola “kurva terbalik” yakni efek positif meningkat hingga titik tertentu, lalu menurun bila latihan dilakukan terlalu sering.
Sebuah studi yang dikutip oleh Deemag Clinic Review (2018) menyebutkan bahwa kelompok yang berolahraga dua hingga lima kali per minggu selama 30–60 menit per sesi memiliki kesejahteraan mental terbaik. Di luar kisaran itu, manfaatnya cenderung menurun.
Tekanan sosial modern sering menempatkan olahraga bukan lagi sebagai kebutuhan keseimbangan, tetapi ajang pembuktian diri. Budaya "no pain, no gain" dan tren workout challenge di media sosial menormalisasi overtraining sebagai tanda kekuatan mental. Padahal, resiliensi sejati bukanlah menolak lelah, melainkan kemampuan mengenali batas diri dan memulihkan energi dengan bijak.
Sudah saatnya kita menata ulang makna kebugaran. Olahraga yang menyehatkan bukan berarti memaksa tubuh bekerja tanpa henti tetapi memberi ruang bagi pemulihan, tidur cukup, dan refleksi mental.
Ketangguhan sejati tidak tumbuh dari paksaan, melainkan dari kesadaran kapan bergerak dan kapan beristirahat.(dr Lucas Nando Nugraha MBiomed CHt AIFO-K, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana/ UKDW)