Redenominasi Rupiah, Perlukah?

Photo Author
- Minggu, 16 November 2025 | 17:30 WIB
 Hery Nugroho.
Hery Nugroho.

KRjogja.com - SEBULAN terakhir isu tentang redenominasi rupiah kembali mengemuka. Hal tersebut mencuat setelah Menteri Keuangan Purbaya mengungkapkan dalam sebuah seminar di Universitas Airlangga pada pertengahan November lalu.

Meskipun rencana kebijakan itu bukan isu yang baru, ternyata masih menarik perhatian dan reaksi dari berbagai kalangan. Isu redenominasi sebenarnya sudah muncul sejak 2010, pada saat BI di bawah kepemimpian Darmin Nasution. Salah satu tujuannya adalah agar terjadi efisiensi dalam sistem transaksi keuangan dan kebutuhan penyederhanaan denominasi rupiah.

Pada saat itu, rencananya setelah tiga tahun fase sosialisasi, seharusnya Indonesia sudah memasuki masa transisi redenominasi rupiah. Namun, hingga lebih dari satu dekade kemudian rencana itu justru lenyap tak terdengar. Baru pada 2017, Menkeu Sri Mulyani bersama Gubernur BI Agus Martowardojo secara resmi mengajukan RUU Redenominasi Mata Uang kepada DPR RI.

Setelah berulang kali gagal masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas), pada 2020 Kemenkeu kembali mengangkat rencana itu, tetapi kembali mentok karena terbentur oleh pandemi Covid-19. Akhirnya, dalam Permenkeu (PMK) No. 70 tahun 2025 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kemenkeu 2025–2029, rencana ini kembali diangkat melalui RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi) yang ditargetkan akan rampung pada 2027.

Redenominasi mata uang adalah kebijakan penyederhanaan nilai nominal mata uang dengan cara mengurangi jumlah digit nol, tanpa mengubah nilai riil mata uang tersebut, sehingga daya beli masyarakat tidak terpengaruh. Berbeda dengan sanering yang memotong nilai mata uang, yang menyebabkan daya beli masyarakat menjadi terjun bebas. Secara teori, redenominasi memang hanya akan memotong jumlah digit, tetapi tidak berdampak pada daya beli.

Redenominasi juga bukan devaluasi. Kebijakan ini tidak berdampak pada nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, tetapi hanya berbeda pada sisi penyebutan jumlah digitnya. Nilai tukar tetap akan ditentukan oleh mekanisme pasar seperti biasanya.

Apakah sesederhana itu? Ternyata tidak. Sebagaimana lazimnya kebijakan moneter, yang akan menimbulkan dampak secara instan, maka kebijakan ini pun juga mengandung sisi positif dan negatif. Di samping akan memberikan dampak positif berupa penyederhanaan dalam transaksi keuangan dan munculnya persepsi tentang kestabilan ekonomi, ternyata di dalamnya tetap mengandung risiko harus diwaspadai.

Risiko tersebut justru bersumber dari faktor-faktor nonekonomi, misalnya munculnya psikologi pasar dan persepsi publik. Adanya persepsi “harga yang murah”, dikhawatirkan akan memicu pengeluaran (spending) masyarakat. Dalam skala agregat, tentu munculnya psikologi pasar semacam ini akan mengancam akselerasi inflasi.

Dampak negatif lain adalah adanya kecenderungan kenaikan harga akibat para pedagang membulatkan harga ke atas. Selain itu, secara finansial juga memerlukan ongkos yang sangat besar, baik yang ditanggung oleh pemerintah maupun oleh masyarakat akibat kebijakan itu.
Negara-negara yang dipandang berhasil dalam redenominasi antara lain Prancis, Brasil, dan Turki. Secara administratif formal, waktu yang dibutuhkan oleh ketiga negara tersebut memang relatif cepat, tetapi ketiganya sama-sama mengalami fase transisi dan sosialisasi yang relatif lama (sekitar tiga tahun).

Sementara itu, beberapa negara justru mengalami kegagalan dalam menjalankan kebijakan serupa. Contoh yang paling populer antara lain Argentina, Venezuela, dan Zimbabwe. Pascaredenominasi, ketiga negara tersebut malahan mengalami chaos dalam sistem transaksi keuangannya. Redenominasi telah menimbulkan masalah dan kerumitan baru dalam tata kelola perekonomian.

Berkaca dari pengalaman negara lain, baik yang berhasil maupun yang gagal, redenominasi rupiah hanya akan berhasil jika terlebih dahulu dipenuhi beberapa prasyarat: perekonomian stabil, fiskal sehat, moneter kredibel, infrastruktur siap, dan masyarakat memahami tujuan serta prosesnya.
Kebijakan moneter adalah kebijakan yang berdampak instan. Jika dipandang bahwa prasyarat itu belum sepenuhnya dipenuhi, maka lebih baik pemerintah berkonsentrasi pada penyelesaian masalah moneter lain yang memiliki prioritas lebih mendesak, misalnya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. (Hery Nugroho, Kepala Divisi Riset dan Program 'Swasaba Research Initiative (SRI)' Yogyakarta)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X