Redenominasi Rupiah

Photo Author
- Minggu, 16 November 2025 | 21:55 WIB
Catur Sugiyanto.
Catur Sugiyanto.

KRjogja.com - ISU redenominasi rupiah kembali mencuat. Warga yang pernah mengalami gejolak moneter, seperti krisis 1997 atau bahkan mendengar cerita orang tua tentang sanering 1960, wajar merasa was-was. Padahal, keduanya sama sekali berbeda, baik dari segi tujuan maupun dampaknya.

Redenominasi bukanlah pemotongan nilai uang. Tidak ada tabungan yang hilang, tidak ada gaji yang dipangkas, dan tidak ada daya beli yang berubah. Redenominasi sekadar menghilangkan beberapa angka nol pada nominal rupiah agar lebih ringkas dan efisien. Bila kini harga sate klathak Rp 35.000, setelah redenominasi mungkin hanya tertulis Rp 35. Nilainya tetap sama, sate yang dibeli tetap sama, dan kemampuan beli masyarakat tetap utuh.

Perbedaan inilah yang harus disampaikan dengan tegas. Redenominasi adalah penyederhanaan, sementara sanering adalah pemotongan nilai. Negara yang melakukan redenominasi justru melakukannya ketika kondisi ekonominya stabil dan pemerintah memiliki kepercayaan diri untuk modernisasi sistem mata uang. Turki, misalnya, sukses mengurangi enam angka nol pada mata uangnya pada tahun 2005, ketika inflasi sudah terkendali dan kebijakan makro mereka diyakini publik. Korea Selatan, Uni Eropa, dan beberapa negara lain juga melakukannya dalam kondisi yang serupa.

Indonesia saat ini sebenarnya berada pada momentum yang jarang terjadi. Inflasi terjaga pada kisaran 2–3 persen, pertumbuhan ekonomi bertahan di sekitar 5 persen, cadangan devisa kuat, perbankan relatif sehat, dan penggunaan uang digital meningkat sangat pesat. QRIS, e-wallet, dan transaksi daring kini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Inilah kondisi ideal untuk menyederhanakan nominal rupiah, karena sebagian besar transaksi sudah berlangsung secara digital dan tidak lagi bergantung pada uang fisik.

Manfaat redenominasi cukup besar, meski sering tidak langsung terlihat. Pertama, efisiensi sistem pembayaran. Dengan jumlah digit yang lebih sedikit, transaksi menjadi lebih cepat, biaya administrasi menurun, dan pencatatan akuntansi—baik di ritel, perbankan, maupun institusi publik—menjadi lebih rapi. Kedua, memperbaiki persepsi rupiah di mata internasional. Mata uang dengan banyak nol sering dipandang sebagai mata uang “lemah”, meski hal itu tidak sepenuhnya benar. Ketiga, mendorong modernisasi sistem keuangan Indonesia yang menuju pada pengembangan Rupiah Digital di masa depan. Penyederhanaan nominal akan mempermudah integrasi berbagai sistem, mulai dari perbankan hingga aplikasi pembayaran.

Namun, seperti kebijakan apa pun, redenominasi bukan tanpa risiko. Banyak negara yang gagal karena salah memilih momentum. Venezuela dan Zimbabwe pernah menghapus belasan nol dari mata uang mereka, tetapi tetap gagal mengendalikan inflasi. Penyebabnya bukan pada redenominasi itu sendiri, melainkan pada kondisi ekonomi yang rapuh dan kebijakan fiskal-moneter yang tidak disiplin. Redenominasi tidak dapat dipakai “memadamkan api” inflasi yang sedang membara. Justru sebaliknya, redenominasi hanya dapat dilakukan dalam keadaan ekonomi tenang, seperti saat ini di Indonesia.

Karena itu, kehati-hatian mutlak diperlukan. Pemerintah dan Bank Indonesia harus memastikan komunikasi publik berjalan lancar. Masyarakat harus yakin bahwa nilai uang tidak berubah. Pengawasan harga harus diperketat agar tidak ada pelaku pasar yang “membulatkan ke atas” dan menyebabkan kenaikan harga diam-diam. Sistem IT perbankan, ERP perusahaan, aplikasi kasir UMKM, hingga sistem perpajakan perlu diberi cukup waktu untuk melakukan penyesuaian.

Di luar persoalan teknis, tantangan terbesar justru ada pada sisi psikologis masyarakat. Pengalaman sejarah membuat sebagian orang mudah cemas. Padahal, jika komunikasi dilakukan secara konsisten dan transparan, kekhawatiran itu dapat diredam. Redenominasi adalah perubahan angka, bukan nilai.

Digitalisasi ekonomi yang berkembang sangat cepat justru membuat redenominasi semakin relevan. Transaksi di pasar, toko, dan kantor pemerintahan kini lebih banyak berlangsung melalui sistem digital yang otomatis dan terintegrasi. Penyederhanaan nominal akan membuat proses ini lebih efisien dan mengurangi risiko kesalahan pencatatan, terutama pada nilai transaksi besar seperti anggaran, pajak, dan proyek pemerintah. Dalam beberapa tahun ke depan, dengan rencana hadirnya Rupiah Digital, penyederhanaan nominal bahkan akan mempermudah integrasi lintas platform pembayaran.

Indonesia berada pada persimpangan penting. Jika redenominasi dilakukan dalam kondisi stabil seperti saat ini, efek positifnya akan terasa dalam jangka panjang. Namun jika ditunda hingga kondisi ekonomi memburuk, langkah tersebut justru bisa memicu salah paham dan keresahan publik. Karena itu, momentum saat ini layak dijaga dan dipertimbangkan secara serius.

Redenominasi bukan ancaman, bukan pemotongan nilai, dan bukan kebijakan darurat. Ia adalah bagian dari modernisasi ekonomi nasional. Yang diperlukan hanyalah kesiapan teknis, disiplin kebijakan, dan yang lebih penting: komunikasi publik yang jernih, konsisten, dan penuh kepercayaan. Dengan itu, penyederhanaan rupiah dapat menjadi salah satu langkah penting untuk menyiapkan Indonesia memasuki era ekonomi digital yang makin terintegrasi dan efisien. (Catur Sugiyanto, Penulis adalah Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Ekonomi FEB UGM)

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X