KRjogja.com - Di era digital saat ini, satu kebiasaan telah muncul sebagai tantangan baru bagi literasi masyarakat, yaitu doomscrolling, kebiasaan mengonsumsi terus-menerus berita negatif atau konten yang mengejutkan di media sosial atau internet. Kebiasaan ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga memiliki implikasi serius terhadap kemampuan literasi masyarakat, termasuk kemampuan membaca, memahami, dan berpikir kritis.
Sebuah studi internasional menemukan bahwa doomscrolling terkait dengan kecemasan eksistensial, ketidakpercayaan, kecurigaan, dan keputusasaan (The Guardian, 2024). Menurut temuan tersebut, ketika seseorang terus-menerus terpapar berita buruk, dia dapat merasa bahwa hidup ini rapuh dan terbatas, manusia pada dasarnya sendirian, dan individu tidak memiliki kendali penuh atas kehidupan mereka (The Guardian, 2024). Kondisi semacam ini sangat mungkin mengganggu kemampuan literasi karena literasi bukan hanya soal membaca kata per kata tetapi memahami konteks, mengevaluasi informasi, dan membuat penilaian kritis atas teks yang diterima.
Lebih lanjut, fenomena brain rot, istilah yang dipakai untuk menggambarkan kemerosotan kognitif akibat konsumsi konten digital berkualitas rendah, mencerminkan bagaimana konsumsi media digital yang intens dan dangkal dapat melemahkan perhatian dan memori. Internet memperpendek rentang perhatian, melemahkan daya ingat, dan mendistorsi proses kognitif kita (The Guardian, 2024). Jika masyarakat terbiasa dengan scrolling cepat tanpa refleksi maka kebiasaan membaca mendalam dan literasi yang lebih kritis akan terancam.
Dalam konteks literasi masyarakat luas, ini bukan hanya soal kemampuan membaca teks cetak atau akademik, tetapi juga literasi media, kemampuan untuk mengenali bias, memilih sumber yang tepat, memahami cara kerja algoritma media sosial, dan mengevaluasi informasi yang diterima. Ketika doomscrolling menguasai waktu luang, aktivitas membaca reflektif dapat tersingkir. Sebagai contoh dalam pendidikan formal, para ahli menekankan bahwa tes membaca tidak membantu anak-anak meningkatkan literasi mereka (The Guardian, 2025). Artinya, meningkatkan jumlah tes membaca saja tidak cukup, perlu dukungan lingkungan, akses ke bacaan bermakna, dan waktu untuk membaca dengan tenang.
Di Yogyakarta dan Indonesia secara umum, meskipun data spesifik tentang doomscrolling masih terbatas, tren global ini relevan karena akses internet dan media sosial semakin meluas. Kebiasaan doomscrolling dapat menghambat upaya literasi digital dan tradisional. Ketika waktu yang seharusnya untuk membaca buku, artikel panjang, atau berdiskusi, terpakai untuk scrolling tanpa henti, maka kesempatan membangun keterampilan literasi yang mendalam menjadi berkurang.
Untuk menanggapi tantangan ini, masyarakat perlu mengembangkan strategi literasi baru yang sesuai zaman digital. Pertama, kita perlu membiasakan buffer waktu digital, misalnya menetapkan jam bebas gadget, atau per hari menyisihkan waktu 30 – 60 menit untuk membaca materi panjang tanpa gangguan. Kedua, literasi media digital harus masuk ke dalam pendidikan dan komunitas, bagaimana mengenali berita hoaks, bagaimana memahami sudut pandang berbeda, dan bagaimana membaca kritis dalam lingkungan daring. Ketiga, lingkungan pendidikan dan perpustakaan harus mendorong bacaan mendalam, bukan hanya konsumsi cepat konten. Fokus bukan hanya pada kecepatan membaca, tetapi pada pemahaman dan refleksi.
Secara keseluruhan, doomscrolling bukan sekedar masalah konsumsi berita negatif, ini merupakan hambatan bagi literasi yang matang dan kritis di masyarakat. Dengan meningkatnya intensitas konsumsi digital cepat, maka kemampuan kita untuk membaca dengan tenang, memahami konteks, mengevaluasi informasi, dan berpikir kritis dapat terkikis. Agar literasi masyarakat, konvensional maupun digital, tetap kuat di Yogyakarta dan sekitarnya, kita perlu menyikapi perubahan kebiasaan digital dengan kesadaran dan tindakan. Jika literasi berarti lebih dari sekedar membaca kata per kata, maka pilihan kita hari ini dalam menggunakan gadget dapat menentukan kualitas literasi generasi mendatang.(Ignatius Indra Kristianto, S.Pd., M.A., Dosen Prodi Akuntansi, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta)