Keberadaan situs sejarah di daerah pedesaan seringkali hanya menjadi artefak yang sunyi jika tidak disertai dengan narasi yang hidup dan relevan bagi komunitas sekitar. Di Desa Keloran, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, terdapat potensi budaya yang besar melalui situs Sendang Sitretes dan kisah Raden Mas Said, namun potensi ini belum dikembangkan secara optimal akibat kurangnya inovasi seni dan manajemen budaya yang profesional. Menanggapi tantangan ini, Tim Pelaksana dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, yang dipimpin oleh Nandhang Wisnu Pamenang, S.Sn., M.Sn., yang beranggotakan Nanang Bayu Aji, S.Sn., M.Sn., dan Yulianto, S.Sn., M.Sn., menawarkan solusi dari permasalahan tersebut. Selain itu, tim ini juga berkolaborasi dengan mahasiswa Wahyuni Nuradyah, Ramdan Ardianto, dan Rafi Kurniawan untuk menginisiasi gerakan budaya melalui Program Pengabdian Kepada Masyarakat dalam skema Program Inovasi Seni Nusantara. Program ini telah berhasil dilaksanakan atas dukungan pendanaan penuh dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Tahun 2025.
Fokus utama kegiatan ini adalah memberdayakan mitra sasaran, yaitu Sanggar Seni Saraswati dan Pemerintah Desa Keloran. Berdasarkan analisis situasi, sanggar ini memiliki sekitar 30 anggota dan sangat termotivasi. Melalui pelatihan Tari dan Karawitan diharapkan mampu meningkatkan kompetensi SDM yang punya daya saing. Namun yang terjadi sanggar terhambat oleh pola praktik yang hanya meniru tanpa didasari dengan tindakan riset, serta manajemen organisasi yang tidak terorganisir. Program ini mengusulkan pendekatan Participatory Rural Appraisal dan metode penciptaan seni kontekstual untuk mengubah paradigma ini. Melalui serangkaian penelitian etnografis yang melibatkan penelusuran sejarah lisan dan pengamatan mendalam di situs Sendang Sitretes, tim dosen dan mahasiswa berkolaborasi dengan komunitas untuk mengekstrak data historis yang kemudian diubah menjadi karya tari asli.
Hasil konkret dari kolaborasi intensif ini adalah penciptaan karya tari baru berjudul “Tari Sesaji Sitretes.” Karya ini bukan sekadar tari, melainkan inovasi artistik berdasarkan riset budaya yang menggabungkan gaya bedayan Mangkunegaran dan Surakarta, mewakili narasi sejarah lokal Desa Keloran. Proses kreatif ini didukung oleh pembuatan modul tari, yang berfungsi sebagai panduan pendidikan bagi anggota sanggar. Selain aspek artistik, program ini juga terlibat dalam aspek manajemen. Tim pelaksana memberikan pelatihan manajemen yang mencakup pengelolaan organisasi, strategi pemasaran digital, dan pembuatan sistem arsip digital untuk mendokumentasikan aset kreatif sanggar agar tersimpan rapi dan mudah diakses.
Kesuksesan program ini dapat diukur secara jelas melalui peningkatan kapasitas mitra. Indikator keberhasilan terlihat dalam transformasi Sanggar Seni Saraswati, yang kini memiliki struktur organisasi formal dan kemampuan untuk menghasilkan karya sendiri, bukan hanya meniru. Puncak kegiatan ini adalah pertunjukan perdana Tari Sesaji Sitretes yang diselenggarakan secara langsung di Desa Keloran. Nandhang selaku ketua tim kegiatan ini yakin akan ada banyak pasang mata yang hadir menjadi saksi hidup pertunjukan perdana Tari Sesaji Sitretes di Desa Keloran pada tanggal 6 Desember 2025. Acara budaya ini tidak hanya menghidupkan kembali ruang sejarah yang terabaikan, tetapi juga memicu potensi ekonomi kreatif dan pariwisata berbasis budaya di Desa Keloran.
Melalui pendanaan dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi tahun 2025, program ini menunjukkan bahwa sinergi antara perguruan tinggi dan komunitas desa dapat menghasilkan dampak yang signifikan. Hasil wajib berupa artikel ilmiah populer, dokumentasi video kegiatan, dan publikasi di media massa telah dipenuhi sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. Selain itu, “Tarian Sesaji Sitretes” kini menjadi aset identitas Desa Keloran, dan Sanggar Seni Saraswati telah bertransformasi menjadi kelompok seni yang lebih mandiri, profesional, dan kompetitif, siap menghadapi masa depan sebagai pilar pelestarian budaya dan penggerak ekonomi desa.
Penulis : Nandhang Wisnu Pamenang