AI-washing di Indonesia: Antara Hype dan Realitas

Photo Author
- Jumat, 28 November 2025 | 06:50 WIB
Woro Wiratsih, S.Pd., M.A.
Woro Wiratsih, S.Pd., M.A.

KRjogja.com - DALAM beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan peningkatan penggunaan frasa "AI" di berbagai sektor, mulai dari e-commerce, fintech, UMKM, pendidikan, hingga layanan publik. Hampir setiap produk berlomba-lomba menampilkan emblem "berbasis AI", baik dalam iklan maupun materi promosi, hingga istilah tersebut menjadi slogan pemasaran yang praktis diwajibkan untuk tampil modern dan kompetitif. Namun, di balik lonjakan euforia ini terdapat praktik menyesatkan yang semakin meluas: AI-washing, yaitu upaya untuk membesar-besarkan atau memalsukan penggunaan AI demi menarik perhatian pelanggan dan investor.

AI-washing mudah berkembang di Indonesia karena literasi publik tentang AI masih rendah dan belum adanya regulasi yang mengatur transparansi klaim teknologi. Akibatnya, label “AI” dapat ditempelkan pada berbagai produk, misalnya perangkat rumah tangga, aplikasi mobile, chatbot layanan pelanggan, kamera ponsel, platform pendidikan, layanan finansial, dan analisis kulit yang mengklaim memakai AI padahal hanya menggunakan otomatisasi atau aturan sederhana.

Dampak AI-washing bagi Konsumen Indonesia

AI-washing membawa sejumlah konsekuensi serius bagi konsumen Indonesia. Banyak orang akhirnya membeli produk atau layanan berdasarkan klaim teknologi yang dilebih-lebihkan atau bahkan palsu, sehingga menimbulkan kerugian finansial akibat fitur yang tidak sesuai ekspektasi. Ketika label “AI” ternyata hanya gimmick, jurang antara harapan dan kenyataan menciptakan kekecewaan sekaligus menurunkan kepercayaan publik terhadap teknologi digital secara umum. Di sektor-sektor sensitif seperti kesehatan, finansial, dan pendidikan, AI-washing dapat menyesatkan pengguna karena aplikasi yang tampak cerdas sebenarnya tidak didukung algoritma atau model yang valid, sehingga berpotensi menghasilkan diagnosis keliru, rekomendasi investasi yang salah, serta layanan belajar yang tidak adaptif.

Dampak AI-washing bagi Ekosistem Bisnis & Startup

AI-washing tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga menimbulkan dampak struktural bagi ekosistem bisnis dan startup Indonesia. Ketika terlalu banyak perusahaan mengklaim penggunaan “AI” tanpa substansi, kepercayaan publik terhadap perusahaan teknologi lokal perlahan terkikis. Kondisi ini juga merugikan startup yang benar-benar mengembangkan dan mengimplementasikan AI, karena pasar menjadi penuh “noise” sehingga sulit membedakan inovasi asli dari sekadar gimmick pemasaran. Jika dibiarkan, AI-washing dapat memicu inflasi klaim teknologi dalam ekosistem startup, di mana hype tidak sebanding dengan kemampuan teknologi yang sebenarnya.

Bagaimana Seharusnya Industri dan Pemerintah Menanggapi?

Untuk meredam maraknya AI-washing, seluruh pemangku kepentingan perlu bergerak serempak. Perusahaan dan startup harus lebih transparan tentang jenis AI yang digunakan, fungsinya, dan batasannya, sambil menghindari istilah bombastis yang tidak dapat diverifikasi. Regulator perlu menetapkan pedoman nasional mengenai klaim transparansi AI, termasuk aturan pelabelan “AI-generated content”. Media harus memverifikasi klaim teknologi sebelum publikasi dan publik perlu meningkatkan literasi digital dengan bertanya kritis agar tidak mudah tertipu pemasaran yang menyesatkan. Konsumen perlu meningkatkan literasi digital dengan mengajukan pertanyaan kritis seperti “Bagian mana yang sebenarnya memakai AI?”, “Apa bukti performanya?”, dan “Apakah ini benar AI atau hanya fitur otomatis?” agar tidak mudah terjebak pada pemasaran yang menyesatkan.

Pada akhirnya, perkembangan AI di Indonesia seharusnya dilihat sebagai peluang besar bagi inovasi, efisiensi, dan pertumbuhan ekonomi, bukan sekadar label pemasaran. Namun, praktik AI-washing kini menjadi ancaman serius karena dapat merusak kepercayaan publik, menghambat kemajuan teknologi yang sebenarnya, dan menimbulkan distorsi dalam ekosistem inovasi. Karena itu, masa depan AI Indonesia harus dibangun di atas integritas, transparansi, dan akuntabilitas dari perusahaan, regulator, media, dan konsumen. Jika AI adalah masa depan, maka kejujuran harus menjadi fondasi utamanya. (Woro Wiratsih, S.Pd., M.A. - Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X