Prof. Dr. apt. Dyah Aryani Perwitasari S.Si., M.Si.
Dekan Dosen Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan
SEJAK beberapa tahun yang lalu, maha data dalam bidang kesehatan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dalam bidang kedokteran, maha data telah dimanfaatkan untuk memberikan pelayanan kesehatan, terutama diagnosa, yang lebih presisi. Pemanfaatan maha data dalam bidang kefarmasian, masih menjadi hal yang langka. Hal ini disebabkan karena kebutuhan literasi data dan teknologi dalam bidang kefarmasian masih belum bisa terpenuhi dengan baik. Dalam artikel yang dituliskan oleh Ma, et al (2019), dikatakan bahwa Farmasi Informatika adalah penggunaan dan pengintegrasian data, informasi, pengetahuan, teknologi dan automatisasi dalam proses penggunaan obat, dimana tujuan utamanya adalah memperbaiki luaran kesehatan. Aplikasi Farmasi Informatika di Indonesia masih terkendala dengan parameter teknologi dan automatisasi yang masih belum tercukupi. Di samping itu, kondisi negara Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau, menjadi kendala pula untuk akses informasi seluas-luasnya. Jalur internet yang belum merata menjangkau seluruh Indonesia, menjadi salah satu kendala aplikasi dari Farmasi Informatika. Kesadaran masyarakat akan pentingnya teknologi di era internet of things, juga menjadi salah satu kunci keberhasilan dari aplikasi Farmasi Informatika. Belum segenap lapisan masyarakat bersedia menerima perkembangan teknologi untuk diaplikasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Terminologi Maha Data pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, yaitu volume, kecepatan dan keragaman. Dalam bidang Farmasi Informatika, ketiga unsur tersebut dapat digunakan dalam: pembuatan keputusan mengenai terapi yang sesuai dengan kondisi pasien, perbaikan pelayanan kesehatan di komunitas dan rumah sakit, pencegahan kesalahan pengobatan (medication error) dan rekonsiliasi obat. Proses yang terjadi dalam Farmasi Informatika adalah pengolahan sumber informasi, analisis data dan membagikan hasil analisis dalam bentuk informasi melalui aplikasi komputerisasi pada segala aspek kesehatan dan pengobatan.
Sejak tahun 2007, apoteker yang terlibat dalam asosiasi apoteker di Amerika Serikat dinyatakan mempunyai peran penting dalam Farmasi Informatika, terutama dalam pengumpulan data secara cepat. Secara rinci, peran dan tanggung jawab apoteker dalam Farmasi Informatika, pertama, penelitian di industri farmasi dan institusi pendidikan farmasi, seperti: uji klinik, kedua mengolah data biaya dan klaim milik asuransi kesehatan, selanjutnya pengolahan data klinik di rekam medis elektronik, yang berisi data pasien dan luaran terapi, dan terakhir pengolahan data perilaku pasien terutama dalam hal penggunaan obat.
Dalam hal pengambilan keputusan, maha data mengambil peran penting dalam penyusunan Clinical Pathway (CP). CP tidak sama dengan penyusunan panduan pengobatan yang berbasis bukti. CP berorientasi pada pengelolaan penyakit kelompok pasien tertentu. Pada dasarnya CP bertujuan untuk mengendalikan biaya pelayanan kesehatan dengan kualitas pelayanan kesehatan yang baik, tanpa biaya yang tinggi dan adanya risiko kesalahan diagnosa. Satu langkah kunci dari penyusunan CP adalah menentukan luaran klinis, dimana membutuhkan kajian literatur. Beberapa hal yang mungkin mempegaruhi CP adalah lama rawat inap, rerata biaya, biaya institusi, saat pemberian obat dan penggunaan sarana-prasarana. Dalam bidang kefarmasian, penggunaan sarana kefarmasian dan obat merupakan komponen utama dari CP. Apoteker dapat menggunakan maha data untuk menentukan pengobatan yang rasional dan efektif, sesuai dengan standar pengobatan. Selain itu, rekomendasi pengobatan dapat disesuaikan dengan analisis data dan biaya yang telah dilakukan.
Dalam melaksanakan evaluasi terhadap CP, apoteker dapat menggunakan data riwayat alergi, dosis obat, keamanan, efikasi, tujuan penggunaan, monitoring penggunaan obat, karakeristik demografi pasien dan efek yang tidak diinginkan. Dalam melaksanakan monitoring CP, apoteker dapat melaksanakan konsultasi farmakoterapi, meningkatkan kepuasan pasien dan melaksanakan aktivitas berbasis keilmuan, seperti pengelolaan penggunaan antibiotika, pengelolaan nyeri, konseling pasien saat keluar dari rumah sakit, rekonsiliasi obat dan perpindahan layanan. Satu penelitian melaporkan penggunaan sistem berbasis computer untuk deteksi infeksi nosokomial, dimana sistem tersebut dapat memberikan peringatan terhadap kejadian infeksi nosokomial sebesar 90%, dan juga dapat menghindari penggunaan antibiotic yang tidak tepat.
Selain bermanfaat dalam penyusunan CP, maha data juga dapat digunakan untuk membantu aktivitas apoketer di komunitas, mengukur kualitas pelayanan dan luaran terapi pasien, mengukur kepatuhan pasien dan mendukung pengobatan yang tepat (Precision medicine). Dalam praktek apoteker di komunitas, apoteker dapat memprediksi risiko polifarmasi dengan menggunakan mahadata. Selain itu, dengan membuat sistem mengingatkan yang baik, kepatuhan minum obat pasien akan terpantau, sehingga luaran terapi menjadi tercapai dan kepuasan pasien meningkat. Penelitian sebelumnya juga menyampaikan bahwa ketidakpatuhan pasien turun sebesar 6% dengan adanya aplikasi maha data untuk secara otomatis mendapatkan obat rutin. Rekonsiliasi pengobatan dengan menggunakan integrasi rekam medik eletronik berbasis maha data, akan menurunkan potensi kejadian efek obat yang tidak diinginkanm bahkan kematian.
Dari gambaran di atas, jelaslah, apoteker saat ini harus lebih menguasai literasi data dan literasi teknologi, sehingga dapat memanfaatkan maha data dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian. Berbagai macam program layanan dapat dirancang berbasis maha data, sehingga luaran terapi yang diinginkan dapat tercapai. (*)