SUWARNO masih belum banyak bicara. Warga Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang itu ‘masih mengisolasi’ di kediaman asalnya. Lelaki berusia 35 tahun itu nekat tengah malam pulang dari Tangerang tempatnya bekerja di pabrik, dengan menggunakan moda sepeda motor.
Transit di beberapa kota dan tanpa pemeriksaan. Tidak ada karantina sebelum memasuki rumah. Juga belum ada isolasi desa, sebagaimana diimbau Gubernur Jawa Tengah.
Suwarno hanya pulang, berkumpul keluarga dan ‘mengisolasi’ dalam arti tidak bergaul di desa. Perangkat desa mendatangi namun tidak ada follow up apa-apa atas mudiknya Suwarno. Memanfaatkan belum jelasnya aturan mudik, adalah dasar Suwarno nekat pulang.
Pada awalnya ia mengaku takut dengan korona. Tetapi yang membuat miris sekarang ia mengaku lebih takut terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). â€Terus terang kami awalnya takut juga dengan virus korona...tetapi setelah saya terkena PHK tanpa pesangon, kini lebih takut pada kelangsungan hidup kami...pendidikan anak-anak â€.
Tentu apa yang dialami Suwarno, juga menjadi kisah pilu yang banyak dialami anak bangsa yang lain. Harus diakui, mau tidak mau Covid-19 sudah meluluhlantakkan perekonomian masyarakat kecil. Kembali ke desa asal, menjadi alternatif yang banyak dilakukan.
Urbanisasi
Persoalan Covid, bukan ancaman masalah kesehatan namun juga masa depan pekerja. Ini bukan hanya realita Pemerintah Kabupaten Rembang. Kelak akan dihadapi banyak pemerintah daerah yang selama ini warganya banyak mengikuti urbanisasi terutama bekerja di sektor informal di kota besar atau menjadi buruh. Peluang kembali berurbanisasi jika situasi sudah aman masih ada bagi mereka yang bekerja tetap. Bagi buruh dan terlebih sudah diPHK, wallahu’alam?.
Dan ini akan menjadi ‘PR’ besar daerah masa depan. Berapa jumlah pasti tidak mudah diketahui. Lingkup kecil Kabupaten Rembang saja tidak memiliki data jumlah perantau bekerja di Jabodetabek apalagi kota besar lainnya. Dan meski tidak langsung terpapar - karena bukan orang dalam pemantauan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP) sebab tidak diperiksa -- mereka adalah terdampak langsung Covid-19 dalam kehidupannya. Apakah mereka berhak bantuan sosial dari pemerintah daerah sebagaimana pidato Presiden Jokowi, entah.
Dalam pertemuan dengan media, Bupati Rembang, Abdul Hafid menjelaskan pemerintah kabupaten telah menyiapkan anggaran Rp 2,7 miliar dan memberi kelonggaran untuk penanganan Covid-19. Apakah fokus pada penanganan terkait kesehatan atau juga warga terdampak secara ekonomi? Adakah bagi perantau yang mudik?.
Yang pasti, eksistensi pekerja terancam. Para ekonom melihat, pertumbuhan ekonomi dalam dua tiga bulan menurun akibat menurunnya permintaan dunia. Di Indonesia, bayang-bayang kelam itu semakin nyata, ketika nilai tukar rupiah semakin melemah.
Dampak Covid-19 mengenai seluruh sendi dan pelaku ekonomi. Namun tetap saja, pekerja apalagi yang rendah berisiko paling parah dan PHK sudah banyak. Kalapun wabah segera berlalu, akankah semudah membalikkan tangan memperbaiki perekonomian kita? Sekali lagi, ini ‘PR’ besar daerah. Artinya, daerah harus serius memikirkan semua ini. Sangat mungkin para perantau ini belum atau tidak ingin kembali ke kota besar lagi.
Tanpa ada perencanaan dan persiapan yang baik pascapandemi global, persoalan sosial yang muncul di daerah akan lebih besar : kriminalitas, penyakit masyarakat, pengangguran baru dan sejenisnya, hanya akan membawa kerawanan sosial. Saat ini bisa menjadi momentum tepat bagi kepala daerah untuk memikirkan persoalan ini. Meski pilkada serentak ditunda, petahana bisa memetakan persoalan lebih gambling dan kemudian merencanakan matang, menata ulang wilayahnya. Tentu bukan sekadar janji kalau niatnya suci, membangun negeri. Mulailah memperbaiki monografi desa. Dari desa membangun Indonesia. Agus Sutomo, jurnalis mukim di Rembang.Â