KHITTAH Muhammadiyah sejak awal mengukuhkan diri sebagai gerakan amar maÃruf nahi munkar. Muhammadiyah tidak mengambil jalur politik praktis. Namun, Muhammadiyah bukan antipolitik. Meminjam istilah M Amien Rais, Muhammadiyah memainkan peran kebangsaan dengan high politics.
High politics itu pun kini menunggu pembuktian. Artinya, high politics bukan sebuah agenda melangit, namun perlu diimplementasikan pada ranah nyata. Yaitu, sebuah upaya dan komitmen Muhammadiyah menjaga perahu kebangsaan dan keumatan agar tetap kukuh di jalur sirathal mustaqim.
Perahu kebangsaan perlu dijaga. Pasalnya umat Islam adalah penghuni Republik ini. Jika Republik rusak, maka Bangsa Indonesia termasuk umat Muhammadiyah juga akan hancur. Sebaliknya, jika kebangsaan penuh dengan kemakmuran, maka seluruh komponen bangsa dan negara juga akan sejahtera.
Mewujudkan kesejahteraan dan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya merupakan visi Muhammadiyah. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya perlu upaya sistematis melalui banyak jalur. Jalur sosial, pemberdayaan masyarakat, dan pendidikan sudah menjadi jalan Muhammadiyah sejak seabad lalu.
Politik Garam
Jalur politik belum pernah menjadi pilihan Muhammadiyah. Namun, jalur politik yang dipilih bukan mendorong Persyarikatan kepada realitas politik praktis yang kumuh dan kotor. Tetapi bagaimana Muhammadiyah mampu memberi warna? Meminjam istilah Muhammad Hatta, umat Islam perlu memainkan politik garam, bukan politik gincu. Menjadi terang dan garam bagi dunia, begitu meminjam teologi gereja.
Umat Islam perlu mawas diri dalam proses kebangsaan itu. Proses mawas diri itu adalah bagaimana umat Islam sebagai penghuni terbesar Republik ini turut berperan serta dalam pembangunan keadaban dan keumatan. Oleh karena itu menggali kearifan high politics guna menjadi garam dan terang bagi dunia menjadi tantangan keumatan saat ini.
Keumatan akan kokoh saat banyak kader bertransformasi dalam berbagai ranah kebangsaan. Transformasi kader dalam hal ini Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (berdiri 14 Maret 1964) yang sistematis perlu dirancang dalam sebuah agenda kerja dan langkah bersama. Meminjam bahasa Alquran perlu taÃawanu ala birri wa taqwa (tolong menolong dari kebaikan dan ketakwaan) dan shaffan kaÃanhum bunyanun marshush (berbaris rapi sebagaimana bangunan yang berdiri kokoh).