opini

Membangun Ruang Toleransi

Selasa, 28 November 2017 | 01:57 WIB

LINIMASA laman Facebook beberapa hari ini cukup menarik untuk diikuti, satu di antaranya berkaitan dengan adanya postingan dari para netizen mengenai review film ‘Naura dan Geng Juara’. Kemunculan film ini bisa dikatakan ingin mengulang kesuksesan film ‘Petualangan Sherina’ yang sangat popular di era tahun 90- an. Karena secara konten film tersebut (Petualangan Sherina) sangat edukatif, dengan mengajarkan nilai keberanian, kejujuran, dan kesetiakawanan.

Dalam progresnya, mengapa kemudian film ‘Naura dan Geng Juara’menjadi salah satu film yang kontroversial. Alih-alih ingin kembali memberikan tontonan yang edukatif kepada anak-anak. Yang terjadi justru sebaliknya. Berdasar informasi yang saya temukan baik di laman Facebook maupun di WhatsApp grup (WAG) yang saya ikuti, ada beberapa orangtua yang mengkritisi film tersebut karena sama sekali tidak memberikan nuansa edukatif. Di sisi lain justru tampak adanya penggiringan opini (framing) mengenai karakter penjahat yang muncul dalam film tersebut.

Dari komen yang saya terima, disana digambarkan bahwa karakter penjahat yang muncul digambarkan dengan sosok yang berjenggot, bercelana cingkrang, dan selalu mengucapkan takbir ketika memulai aksinya. Secara pribadi saya memang belum melihat film tersebut, sehingga belum bisa memberikan gambaran secara personal mengenai ‘framing penjahat’. Akan tetapi, jika ada testimoni kekecewaan yang muncul dari sebagian masyarakat maka secara sosiologis ada persoalan yang perlu diluruskan.

Toleransi

Pada konteks ini tentunya penulis tidak membuat kesimpulan secara sepihak bahwa film tersebut tidak layak ditonton. Dengan kata lain, jangan sampai kita terjebak pada keinginan untuk menghakimi atau memberikan label kepada pihak lain. Akan tetapi jika apa yang dikeluhkesahkan oleh netizen mengenai ‘framing penjahat’ atau sosok radikal yang muncul dalam film tersebut merupakan unsur kesengajaan dari pembuat film, sudah tentu sangat disayangkan.

Kegaduhan yang muncul di ruang publik sebagai akibat dari ketiadaan toleransi antaraktor sosial sudah seharusnya memunculkan keprihatinan. Sepertinya ada sebagian masyarakat yang belum bisa move on dari perdebatan mengenai siapa anda dan siapa saya. Variabel konstruktifnya sangat kentara dengan munculnya polarisasi publik ke dalam dua kubu. Tanpa perlu disebutkan kita sudah sangat mahfum siapa yang dimaksud dengan dua kubu tersebut.

Toleransi, sepertinya kata ini menjadi semakin langka untuk ditemui, utamanya dalam bentuk perilaku. Pemahaman atas toleransi tentunya tidak muncul dalam ruang kosong, yang artinya tidak hanya berhenti pada sebuah penelaahan atas definisinya, akan tetapi lebih dalam mengenai pemahaman kita atas apa yang menjadi hak orang lain. Perspektif hak disini secara hukum positif merujuk pada hak sebagai warga negara yang sudah termaktub dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga jangan sampai kemudian muncul monotafsir atasnya.

Seringnya kejadian intoleran yang terjadi di ruang publik menjadi cerminan bahwa kedewasaan sosial kita sebagai manusia kian hari kian tergerus. Tatanan sosial dan norma kesusilaan sepertinya tidak lagi menjadi pijakan dalam membangun interaksi. Pada titik inilah publik harus kembali kepada fitrahnya sebagai makhluk sosial yang toleran. Seorang Helen Keller, penulis ternama di era tahun 1880-1968, pernah menyatakan bahwa hasil tertinggi dari pendidikan adalah toleransi. KH Ahmad Dahlan pernah mengingatkan bagi orang Islam, kasih sayang dan toleransi adalah kartu identitas diri. Ini menandakan toleransi adalah fitrah dari kehidupan kita sebagai manusia.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB