opini

Kekerasan di Ruang Publik

Rabu, 23 Agustus 2017 | 22:42 WIB

ERA Abad 21 dengan kemajuan teknologi yang pesat bahkan disruptif, dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi semakin memudahkan kehidupan, sekaligus semakin menantang penghuni planet bumi untuk hidup ekstra hati-hati. Betapa tidak! Hampir semua aspek kehidupan kita bisa diketahui fihak lain melalui media sosial yang tanpa batas ruang maupun waktu. Meskipun teknologi digital memudahkan kita dalam kehidupan, tetapi ada trade off yang harus dibayar berupa semakin hilangnya ruang privat yang hanya bisa kita nikmati sendiri secara pribadi. Hal ini memiliki dampak yang luar biasa terhadap proses dan outcome pendidikan jalur non-formal, dan informal. Kalau kedua jalur pendidikan itu terpengaruh, secara tidak langsung pendidikan formal persekolahan pun juga akan menuai dampaknya secara langsung maupun tidak langsung.

Pertanyaannya, bagaimana peran dan kontribusi ruang publik kita saat ini, dengan munculnya berbagai inovasi disrupsi dalam berbagai aspek kehidupan, terhadap proses belajar masyarakat? Semakin kondusifkah ruang publik kita buat pendidikan dan peradaban bangsa secara makro? Perlukah kita menjaga agar ruang publik tetap menjadi media untuk terjadinya proses pendidikan non-formal dan informal?

Beberapa pertanyaan ini patut kita renungkan bersama akan jawabannya agar kita sebagai bangsa modern yang berkemajuan tetap miliki budaya yang unggul dalam kehidupan Abad 21. Dengan melihat fakta kehidupan masyarakat, kita dengan mudah menyaksikan gaya hidup yang sedang berubah dan meninggalkan cara hidup lama akibat inovasi disrupsi. Saat ini, orang mau makan tidak harus lagi datang ke restauran. Pesan tiket pesawat kita tidak harus pergi ke travel agent, pesan hotel tidak harus repot datang ke hotel, mengabadikan foto diri tidak harus ke studio foto. Bahkan mencari taxi tidak harus panas-panas berdiri di perempatan jalan, mengucapkan ulang tahun tak usah pakai kartu pos, mencari berita tidak harus beli koran dan atau majalah dan sebagainya. Sebaliknya semua kebutuhan kehidupan tersebut dapat dipenuhi melalui aplikasi teknologi informasi dan komunikasi setelah adanya inovasi disrupsi. Kini orang dengan menggunakan smart phone bisa melakukan transaksi dan atau memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mudah dan efisien.

Pertanyaannya, berjalan begitu semuakah kehidupan di ruang publik kita? Jika saja efisiensi waktu itu kemudian digunakan untuk melakukan proses belajar sepanjang hayat yang memberdayakan, kita akan bisa membangun kultur yang positif bagi peradaban dan pendidikan melalui terbentuknya modal sosial yang semakin kuat kohesivitasnya. Pada kenyataannya hal ini tidak terjadi. Ruang publik nyata kita yang sudah bergeser direperesentasikan oleh ruang publik virtual melalui media sosial justru banyak yang menjadi predator bagi modal sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kita. Ruang publik kita dipenuhi fenomena, kejadian, dan pola interaksi yang menggambarkan kekerasan dilihat dari kacamata pedagogi.

Media sosial karena pengguna dan penciptanya pribadi-pribadi yang memiliki otonomi luas untuk mengunggah berbagai pesan, dengan mengatakan apa saja yang tidak harus melewati prosedur standar, maka keadaan ini membuat betapa keras dan bengisnya ruang publik maya kita saat ini. Berita mengenai kebencian, pembunuhan, penipuan, pemerasan berseliweran bisa dibaca siapa saja tak peduli berapa usia mereka dan dari kalangan status sosial mana. Ini bukan berarti media sosial semua isinya mengandung kekerasan fisik maupun psikologis bagi para nitizen. Ada juga dan banyak yang positif. Namun ketika ada pesan bengis dan tidak mendidik di ruang publik, tidak semua nitizen siap untuk melakukan sensor pada tingkat kognitif secara sadar. Dalam konteks ini berlaku teori hypodermic needle model atau hipodermic ñ syringe model, yang menjelasakan bahwa semua pesan dalam sebuah media akan secara langsung diterima dan secara keselurahan akan disepakati isinya oleh penerima pesan. Oleh karena itu bentuk pesan bengis di media sosial yang diviralkan mengenai ancaman fisik dan jiwa oleh kelompok demonstran baru baru ini jelas itu merupakan bentuk kekerasan ruang publik yang menjadi predator bagi modal sosial, pendidikan persekolahan, dan juga pendidikan non-formal dan informal bagi masyarakat kita.

(Prof Suyanto PhD. Guru Besar FE Universitas Negeri Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 23 Agustus 2017)

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB