opini

Melegalkan Becak Motor

Selasa, 15 Agustus 2017 | 12:19 WIB

PERWAKILAN Paguyuban Becak Motor Yogyakarta (PPBMY) pada 10 Agustus mendatangi Balaikota guna menagih prototipe becak motor yang sempat digagas oleh Badan Perencana Pembangunan (Bappeda) Kota Yogyakarta. Menurut Ketua PPBMY, Suparman, mereka telah menyerahkan usulan desain prototipe seperti yang dikehendaki Bappeda tersebut dua bulan lalu. Usulan desain juga disampaikan kepada DPRD DIY dan Dinas Perhubungan DIY. Para pengemudi becak motor juga mengeluhkan adanya zonasi larangan becak motor di Malioboro (KR, 11/8 2017).

Membaca berita tersebut, pertanyaan yang muncul dalam benak penulis adalah akan dibawa ke manakah sistem transportasi di Kota Yogyakarta khususnya dan DIY pada umumnya? Pertanyaan ini relevan dengan posisi Kota Yogyakarta sebagai Kota Pelajar, Budaya, dan Wisata yang kesemuanya itu memerlukan dukungan transportasi umum massal yang aman, nyaman, selamat, dan terjangkau. Sementara becak motor (Betor) bukan representasi moda angkutan umum yang aman, nyaman, dan selamat.

Pada medio Juli 2014 penulis telah menulis di harian ini mengenai ‘Becak Motor dan Pariwisata di Yogyakarta’. Substansi tulisan tersebut adalah mengingatkan kepada Pemkot Yogyakarta dan Pemprov DIY untuk tegas menghadapi menjamurnya Betor karena dalam jangka panjangnya dapat mematikan industri pariwisata di Yogyakarta. Hal itu mengingat salah satu daya tarik kunjungan wisata ke Yogyakarta adalah banyaknya keunikan yang dimiliki kota ini dan tidak terdapat di tempat lain.

Salah satu keunikan itu adalah moda transportasi berupa becak kayuh dan andong. Keduanya merupakan moda transportasi tidak bermotor yang tanpa BBM dan tidak berpolusi. Bila kemudian becak-becak kayuh itu berubah menjadi Betor, maka salah satu keunikan yang menjadi daya tarik berwisata di Yogyakarta akan berkurang, dan itu akan berdampak pada berkurangnya minat kunjungan wisata ke Yogyakarta, khususnya dan DIY pada umumnya.

Tampaknya saya perlu mengubur gede rasa (GR) sebagai penulis yang menyangka tulisan tersebut akan dibaca oleh pengambil kebijakan (Pemkot, Pemprov, dan para anggota dewan) untuk dijadikan masukan menyelesaikan masalah Betor di Yogyakarta. Tapi ternyata tidak, Betor terus tumbuh di seluruh kota, menambah polusi suara maupun udara Kota Yogyakarta dan sekarang menuntut legalisasi operasional.

Apa yang saya khawatirkan tiga tahun silam bahwa sikap Pemkot dan Pemprov DIY yang tidak tegas terhadap kemunculan Betor akan menjadi bumerang telah terbukti. Dengan menuntut prototipe tersebut, sama saja Betor minta dilegalkan. Sementara Betor merupakan moda transportasi yang tidak direkomendasikan dari aspek keselamatan. Karena itu tidak diatur di dalam UU LLAJ No. 22/2009.

Langkah Mundur

Sungguh merupakan langkah mundur bila Pemkot Yogyakarta dan Pemprov DIY melegalkan beroperasinya Betor sebagai moda transportasi umum. Mundur dari segi regulasi, lingkungan, maupun teknologi. UU LLAJ No.22/2009 pasal 122 ayat (1) butir a jelas sekali: “Pengendara Kendaraan Tidak Bermotor dilarang: dengan sengaja membiarkan kendaraannya ditarik oleh Kendaraan Bermotor dengan kecepatan yang dapat membahayakan keselamatan”.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB