opini

Garam

Kamis, 3 Agustus 2017 | 07:48 WIB

JURUS instan dengan melakukan impor kembali dilakukan pemerintah di dalam mengatasi kelangkaan produk di dalam negeri. Setelah impor beras yang terus berulang, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) memutuskan impor garam sebesar 75.000 ton untuk mengatasi kelangkaan garam di dalam negeri. Sungguh sangat ironis, negara garis pantai terpanjang kedua di dunia ini harus melakukan impor  garam. Pemerintah menjadikan  aspek cuaca sebagai kambing hitam  yang menyebabkan terjadinya kelangkaan impor di dalam negeri ini.

Kelangkaan garam yang terjadi di beberapa daerah akhirnya memberikan efek domino bagi pelaku usaha yang selama ini mengandalkan garam sebagai bahan baku utama. Banyak pelaku usaha kecil menengah  yang bergerak di dalam produksi ikan asin dan kerajinan kulit terkena imbasnya. Bahkan banyak yang harus gulung tikar dan beralih profesi karena kelangkaan  garam ini. Beberapa perusahaan pengolahan garam konsumsi juga ada yang harus melakukan PHK karena kelangkaan bahan baku ini.

Perlu ada upaya pemerintah untuk mengatasi kelangkaan garam ini agar tidak terjadi secara terus menerus. Kebijakan impor garam yang dilakukan pemerintah sebenarnya hanya menjadi jalan instan yang tidak akan memberikan solusi atas terjadinya kelangkaan garam ini. Terjadinya kelangkaan garam ini menjadi bukti kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap petani garam. Pada tahun 2011 pemerintah pernah memiliki  program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar). Program ini merupakan bagian dari Program Nasional Pemberdayan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan yang dilaksanakan dengan konsep partisipatif. Melalui program ini diharapkan program pemberdayaan yang dilakukan dapat meningkatan kesempatam kerja, kesejahteraan dan swasembada garam/nasional.

Program ini semestinya perlu untuk direvitaliasasi  keefektifannya. Dari berbagai laporan yang ada, program Pugar ini ternyata banyak yang tidak tepat sasaran. Beberapa petani garam juga banyak yang mengeluhkan karena tidak ada bantuan teknologi sehingga banyak dari mereka yang akhirnya masih melakukan pengolahan garam secara tradisional. Hal inilah yang menyebabkan produksi garam tidak pernah mencapai sesuai dengan target. Sebelum Pugar sebenarnya  pemerintah juga pernah memiliki program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Namun demikian program ini juga kurang terlihat efektif di dalam mendorong masyarakat pesisir untuk berdaya.

Lemahnya  pendampingan yang ada menyebabkan program yang ada tersebut hanya berjalan sesaat dan akhirnya tidak mampu memecahkan kendala-kendala kultural dan struktural yang selama ini dihadapi oleh masyarakat pesisir.  Para petani garam  tidak sekadar mengalami kendala di dalam persoalan permodalan maupun teknologi akan tetapi kendala pemasaran seringkali menjadi penghambat mereka untuk berkembang. Panjangnya mata rantai perdagangan menyebabkan para petani garam tidak pernah mendapatkan keuntungan dari hasil produksi yang dilakukan.  Harga juga menjadi tinggi di tingkat konsumen. Pemerintah harus tegas memberantas mafia-mafia yang sering bermain di dalam tata niaga perdagangan garam ini.

Berbagai persoalan inilah yang seharusnya dibenahi  pemerintah untuk mengangkat derajad kesejahteraan petani garam. Harus ada solusi jangka panjang untuk mengatasi marginalisasi petani garam ini. Jika tidak petani garam akan bernasib sama dengan petani yang justru termarginalkan di negara sendiri. Potensi marginalisasi tersebut tampak nyata ada di depan mata karena jumlah petani garam  yang  semakin menurun. Data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan Indonesia menunjukkan jumlah petani garam Indonesia tahun 2012 masih mencapai 30.668 jiwa. Akan tetapi tahun 2016 turun menjadi 21. 050 jiwa. Mereka banyak yang alih profesi menjadi pekerja kasar dan informal.

Kelemahan mereka di dalam askes permodalan, pasar dan teknologi, dan pemasaran harus dipecahkan melalui kebijakan yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Kelembagaan petani garam rakyat harus dioptimalkan perannya sebagai wadah sosial dan ekonomi bagi mereka untuk dapat saling bekerjasama dan bersinergi untuk meningkatkan posisi tawar mereka.  Ketergantungan petani-petani garam terhadap tengkulak di dalam proses pemasaran diharapkan  dapat diatasi melalui koperasi petani garam yang akan dibentuk.     Petani garam harus dijadikan sebagai salah satu simpul penting untuk mewujudkan cita-cita Jokowi-JK di dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

(Dr Hempri Suyatna. Penulis adalah Dosen Departemen PSdK Fisipol UGM, pakar soal UMKM. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 3 Agustus 2017)

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB