TRADISI mudik Lebaran senantiasa menciptakan gelombang migrasi tahunan yang besar. Pulang kampung jelang Idul Fitri jadi prioritas meski harus berebut tiket dan tempat dalam moda transportasi umum. Tak ada mobil, motor pun jadi. Suamiistri-anak, plus seabreg barang bawaan ditaruh di bagasi motor made in sendiri. Ratusan kilo perjalanan tak pernah memupuskan semangat mudik.
Mudik ke Yogya merupakan mudik yang istimewa secara kultural. Pertama, reuni para diaspora pada momen Lebaran di Yogya selalu diwarnai dengan revitalisasi nilai-nilai persaudaraan (paseduluran) yang merupakan tema penting dalam budaya Jawa (Roqip, 2007). Persaudaraan itu merupakan semangat komunal yang mengatasi kepentingan-kepentingan yang bersifat material. Ungkapan wonten sekedhik dipandum sekedhik, wonten kathah inggih dipandum kathah (ada rejeki sedikit dibagi sedikit, ada rejeki banyak ya dibagi banyak) menyiratkan semangat senasib-sepenanggungan. Itulah sebabnya, mangan ora mangan kumpul, tidak boleh menghalangi kebersamaan.
Kedua, mudik Idul Fitri ke Yogya tak lepas dari revitalisasi relasi silaturahmi kekerabatan. Pada hari nan fitri ini, keluarga-keluarga berkumpul. Generasi yang lebih muda - anak, cucu, cicit - melakukan penghormatan (sungkem) kepada generasi yang lebih tua dengan bersembah sujud secara berurutan.
Tradisi tersebut pada prinsipnya merupakan ungkapan penghormatan kepada orangtua atau pihak yang dituakan (sesepuh). Menurut Mangunsuwito (2002), sungkem berarti sujud atau sangat berbakti, dan menyungkemi berarti ngraup sikile pratandha urmat banget. Itulah sebabnya tradisi sungkeman di hari Lebaran biasa dilakukan dengan cara bersujud di kaki orang yang disungkemi.
‘Ngabekti’
Sosiolog Niels Mulder (1985) melihat tradisi mudik untuk bersungkem kepada orangtua terkait konsep bahwa ayah, ibu, dan para sesepuh adalah objek penghormatan para anak. Sungkem dilakukan dengan sikap berbakti (ngabekti) dan hormat (ngajeni kepada orangtua dengan mewaspadai ëkarma buruk’ jika tidak melakukannya. Anak harus mikul dhuwur, mengangkat tinggi nama baik orang tua, dan mendhem jero, menanam dalam-dalam semua hal negatif orangtuanya.
Ketiga, mudik ke kampung halaman dilandasi oleh prinsip bahwa manusia Jawa tidak boleh melupakan asal-usulnya - aja lali marang asale (Roqip, 2007). Asal usul itu menunjuk pada asal-usul nenek moyang dan juga asal-usul daerah. Karena kesamaan asal usul itulah orangorang Jawa senantiasa berusaha untuk berkumpul (Roqip, 2007). Daerah asal yang merupakan tanah kelahiran, tempat ari-ari (tali pusar) kita ditanam, menjadi tanah tumpah darah yang tak boleh dilupakan. Mudik didorong oleh semacam ënasionalisme kultural’ yang berbasis lokalitas, yang tak pernah memudar bahkan di era global (Naisbitt, 1990).
Selama bertahun-tahun tradisi mudik telah menjadi sarana penguatan bagi semangat persaudaraan, kekerabatan, dan kearifan lokal di Yogya. Tradisi yang melintas batas-batas kesukuan, ras, keagamaan, dan golongan ini memuliakan Lebaran menjadi momen perekat kebangsaan dan kebhinnekaan. Dengan demikian mudik menjadi pilar penting bagi Keistimewaan Yogya yang berbasis budaya (Jawa).