opini

Mengembalikan Nilai Kebhinnekaan Pada Orbitnya

Selasa, 20 Juni 2017 | 10:43 WIB

Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. (Soekarno, Presiden RI Pertama)

KUTIPAN kalimat Bung Karno tersebut dapat menjelaskan bagaimana kompleksnya permasalahan sosial yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa, kedatangan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah ditolak massa yang menggeruduk Bandara Sam Ratulangi, Manado. Sebelumnya, pengusiran Gubernur Kalimantan Barat Cornelis, pada acara Penas KTNA di Banda Aceh oleh sekelompok orang. Selain itu, pembentukan faksi pro dan kontra di grup WhatsApp dan media sosial lainnya terkait perbedaan persepsi atas putusan PN Jakarta Utara pada 9 Mei lalu.

Pergeseran tersebut menimbulkan aksi yang membuat struktur negara, khususnya penegak hukum mengerahkan kekuatan ekstra. Polri meminta bantuan pelibatan TNI dalam pengawalan, seperti pada aksi ‘4/11’ dan ‘2/12’ menunjukkan peningkatan status potensi kerawanan sosial. Sampai pascaputusan pun, Polri bersiaga penuh atas aksi ‘lilin’ di berbagai kota besar, terdistribusi di lebih dari 24 ( > 70%) provinsi di Indonesia dalam tempo kurang dari satu minggu. Potensi kerawanan sosial ini meningkat dengan spot menyebar.

Mengapa Bukan Kita

Pidato Ahok sebagai sumber permasalahan dipersepsikan menjadi kelompok yang setuju dan tidak setuju berujung pada munculnya beberapa aksi. Momentum pilkada yang juga diikuti Ahok sebagai petahana makin dipersepsikan sarat muatan politis. Ujung dari aksi solidaritas setelah putusan PN Jakarta Utara semakin memperlihatkan ‘kelompok kami, kelompok kalian’, bukan ‘kelompok kita’. Fenomena tersebut harus dijawab secara cepat dan tegas oleh negara.

Kehidupan sosial masyarakat yang dirajut oleh empat konsensus dasar berbangsa harus dikembalikan kondisinya ke posisi seperti sebelum adanya persoalan tersebut. Empat konsensus merupakan mesin proses untuk menghasilkan daya tahan bangsa yang kuat. Empat konsensus terdiri dari Pancasila sebagai dasar negara, semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mengakui perbedaan suku, agama, ras, budaya, namun tetap satu sebagai bangsa dan negara. NKRI sebagai bentuk negara dan kedaulatan wilayah yang sudah bersifat final, dan UUD 1945 sebagai sumber dari segala produk hukum yang mengatur kehidupan bernegara.

Empat konsensus di atas menjadi faktor kontrol krisis nasional di Indonesia. Pengendalian yang baik menghasilkan ketahanan nasional yang baik pula. Faktor kontrol sebagai proses, dan aspek dari Asta Gatra adalah inputnya. Aspek tersebut dirumuskan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) menjadi dua kelompok, yaitu Tri Gatra dan Panca Gatra. Tri Gatra terdiri dari aspek geografi, demografi, dan sumber daya alam, sedangkan Panca Gatra terdiri dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.

Rekonsiliasi Nasional

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB