Pengembalian kondisi ‘mesin’ kebhinnekaan pada orbitnya, diperlukan rekonsiliasi nasional sebagai ‘tindakan pertolongan pertama’. Peran aktif para tokoh sangat diharapkan untuk mencairkan suasana yang sempat mengkristal. Hal tersebut harus diinisiasi negara mulai dari tingkat nasional sampai sel terkecil dari negara, yaitu kelurahan atau desa. Sehingga dampak konflik dapat diminimalisir layaknya pengelolaan suatu penyebaran penyakit endemik.
Selain upaya tersebut, penegakan hukum atas pidato yang menjadi sumber permasalahan sosial harus diselesaikan sesuai dengan perundang-undangan. Penegakan hukum sebagai bentuk kedaulatan negara yang tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun, apalagi dari luar NKRI. Penegakan hukum sebagai turunan produk UUD 1945 yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI menjadi bagian faktor kontrol. Jika nilai ambang batasnya kembali dilanggar, berpotensi mengantarkan pada situasi rawan baru yang berujung bencana.
Untuk itu perlu disikapi secara cermat penyelesaian konflik tersebut, jangan sampai melampaui nilai ambang batas faktor kontrol konsensus hidup bernegara. Dengan demikian diharapkan tidak menimbulkan keretakan pada ‘mesin proses’ yang menghasilkan ketahanan nasional kita. Jika ‘mesin proses’tersebut retak atau hancur, maka Indonesia berpotensi menjadi sebatas kenangan. Marilah bersama-sama seluruh komponen Bangsa Indonesia menjaga ‘mesin proses’ itu berjalan pada orbitnya secara kokoh. Untuk menyongsong dan mewariskan Indonesia pada generasi berikutnya.
(Sugiyanto H Semangun SE MSc. Alumni Lemhannas RI PPSA XVII; dan Ketua Komisariat IKAL Daerah Istimewa Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 20 Juni 2017)