Reformasi memberi kesempatan aktor nonnegara untuk berperan lebih besar. Aktor negara (pemerintah), bisnis dan civil society harus bersinergi membangun konsensus; dan peran negara tidak lagi bersifat regulatif, tetapi hanya sebatas fungsi fasilitatif (Pratikno 2005). Secara demikian inisiatif masyarakat didorong, dikondisikan, diberi peluang untuk tumbuh. Meski diinisiasi di semua KPU, RPP dibangun dengan tujuan untuk peningkatan partisipasi, literasi demokrasi, berbekal rasionalitas yang kritis, dengan mendorong tumbuhnya voluntaritas atau kerelawanan (KAK Rumah Pintar Pemilu 2016).
Permendikbud 81/2013 yang bersemangatkan totaliterisme itu terbit justru setelah era Reformasi berjalan 15 tahun. Dengan dalih itu (sebagian) birokrat (Kemendikbud) bisa menjadikan 550-an RPP yang dibangun KPU di seluruh Indonesia itu sebagai wilayah garap baru. Birokrat hanya melihat istilah yang dipergunakan (‘rumah pintar’) dikaitkan dengan Pasal 4 Ayat (5), untuk kemudian mendorong diterapkannya tatakelola seperti diberlakukan terhadap lembaga PNF. Gejala demikian sudah muncul di beberapa kabupaten/kota termasuk di DIY.
Menyamakan rumah pintar pemilu dengan PNF bukan saja kesalahan identifikasi --yang kemungkinan hanya berdasar nama ‘rumah pintar’-- tetapi lebih karena semangat birokrasi totaliter yang sulit diberantas. Konsekuensi penarikan RPP di bawah Permendikbud 81/2013 tentu berupa pemberlakuan tatakelola PNF dengan menerapkan sejumlah prosedur dan peraturan lainnya, misalnya PP No. 17/2010 yang mengharuskan PNF wajib memperoleh izin dari pemerintah kabupaten/kota (Pasal 185 Ayat 1). Lalu kelak diterapkan pula adanya fungsi Pejabat Penilik yang diberi tupoksi melakukan ìpengendalian mutu satuan pendidikan nonformalî. Sungguh, jika tidak ada upaya menolak itu, hilanglah sudah pelembagaan inisiatif dan partisipasi yang sudah berjalan baik di KPU hingga hari ini. ?
(Farid B Siswantoro. Komisioner KPU DIY, pegiat pemberdayaan masyarakat. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 9 Juni 2017)