SEJAK April 2017, program sarjana mengajar di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (SM-3T) yang identik dengan pendidikan profesi guru (PPG) menjadi perbincangan hangat. Kedaulatan Rakyat (21/04/2017) menyebutkan bahwa akan ada revisi regulasi oleh Kemenristekdikti. Alasan pemerintah adalah bahwa selama lima tahun ini program PPG hanya dapat diakses oleh alumnus SM-3T (3.000 personil per tahun) saja, padahal kebutuhan nasional mencapai 300.000 guru.
Secara kalkulasi matematis jika menggunakan sistem itu, dibutuhkan 100 tahun tanpa menghitung angka pensiun. Untuk menggantinya, pemerintah menyiapkan program gabungan yaitu penyiapan 3.500 guru produktif SMK, 3.500 guru SD dan SMP, dan menuntaskan proses pendidikan 3.007 peserta SM-3T. Alasan kedua adalah SM-3T dianggap tidak sejalan dengan UU Guru dan Dosen yang mengatakan bahwa sertifikat profesi.
Namun, Universitas PGRI Semarang menyebutkan bahwa program SM-3T tidak jadi dihentikan. Prof Rochmat Wahab, mantan rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menyayangkan jika SM-3T dihentikan. Pemerintah harus melakukan hitung-hitungan matang mengenai keterlaksanaan suatu program berdasarkan kesesuaian dengan hukum, kebermanfaatan, dan peran pada ketercapaian tujuan bangsa.
Peran nyata serdadu SM-3T nampak pada hasil penelitian Subarkah (2016) dengan responden peserta PPG di UNY yang memuat kesimpulan bahwa SM-3T telah membantu daerah dalam menyelenggarakan pendidikan. Selain itu, Sekertaris Daerah Kabupaten Lanny Jaya, Papua, Kristian Soholait dalam acara Silaturahmi Nasional SM-3T di Jakarta mengaku bahwa program sarjana mengajar sangat membantu daerahnya yang kekurangan guru.
Nawa Cita
Salah satu poin dari Nawa Cita adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Pada poin inilah SM-3T memiliki peran strategis karena membantu meningkatkan kualitas pendidikan di daerah terpencil dan pinggiran Nusantara. Namun masalahnya, 3T adalah lokasi dengan citra menyeramkan, mulai dari minimnya sarana dan prasarana, perbedaan kultur, hingga keamanan. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya minat calon guru untuk mengabdi. Bahkan dengan iming-iming tunjangan pun mereka tetap tidak bergeming.
Sarjana mengajar adalah strategi untuk mempublikasikan bahwa citra negatif hanyalah mitos tak berdasar. Satu tahun di daerah terpencil tampaknya cukup untuk melunturkan ketakutan hingga memunculkan rasa bahwa kehidupan di 3T itu adalah hal biasa, tidak ada bedanya, atau justru mengasyikkan. Banyak sekali curhatan mantan sarjana mengajar di media online yang mengisahkan perjalanannya, sangat inspiratif dan persuasif. Dengan demikian maka negara sangat merugi jika SM-3T tidak dilanjutkan.
Alumnus SM-3T merupakan kelompok potensial yang dapat diandalkan untuk membangun daerah terpencil. Pengalaman mengabdi membangun ikatan emosional yang membuat mereka jauh lebih mudah untuk memutuskan pergi mengabdi ke 3T. Jiwa dan tekad demikian jarang sekali dimiliki oleh orang yang belum pernah merasakan hidup di daerah terluar, terpencil, dan tertinggal. Keuntungan kedua adalah, guru SM-3T menjadi agen rekruitmen pejuang perbatasan. Tidak ada strategi yang lebih masif dalam menggaet pemuda-pemudi untuk mengabdi di 3T selain melalui sharing pengalaman pelaku yang notabene adalah teman sebaya. Dengan demikian maka penguatan Indonesia melalui pinggiran dapat terealisasi.