opini

VisuaVandalisme = Teror Visual

Senin, 8 Mei 2017 | 08:58 WIB

HARIAN Kedaulatan Rakyat (4/5) menayangkan berita utama berjuluk: Vandalisme, Coreng Citra Yogya: Bangun Masyarakat Berbasis Budaya. Liputan tersebut mewartakan, berbagai kalangan sangat menyesalkan dan prihatin atas tindakan yang tidak mencerminkan perilaku masyarakat yang terdidik, berbudaya dan tinggal di kota pariwisata tersebut.

Sehari kemudian, harian KR menurunkan Tajuk Rencana berjudul: Vandalisme, Kenapa Masih Terjadi? Dituliskan dalam Tajuk Rencana tersebut, untuk mengatasi masalah vandalisme ini memang memerlukan peran aktif dari semua komponen masyarakat. Tidak bisa hanya dilakukan secara parsial.

Secara kuantitatif kasus vandalisme yang menjadikan ruang publik sebagai korban sosial, tercatat meningkat tajam. Kebanyakan pelaku vandal masih menyandang predikat pelajar. Mereka menggunakan cat semprot seharga Rp. 20.000 guna meninggalkan jejak aksi vandalnya. Jejak vandalnya terdiri inisial tiga hingga lima huruf. Inisial tersebut merupakan singkatan nama sekolah, komunitas, atau geng pelaku vandal. Kata atau inisial tersebut menjadi kebanggaan atas eksistensi diri dan kelompoknya.

Mereka dengan riang gembira menjalankan aksinya pada malam atau dini hari. Titik kumpulnya di warung burjo. Modus operandinya, setelah menentukan lokasi yang akan divandal, mereka segera menyemprotkan ciri inisial kelompoknya. Hal itu dilakukan secara masif. Demi meningkatkan rating positioning penanda visual eksistensi diri dan kelompoknya. Selanjutnya hasil karya vandalisme tersebut diunggah ke media sosial. Respon positif nan heroik pun bersambut dalam wujud jempol like dan komentar atas aksi mereka.

Saat mereka menjalankan aksi vandalisme, acapkali terjadi perang coret-moret antar inisial. Inisial penanda visual yang ada kemudian akan ditimpa oleh penanda visual lain dari kelompok yang lain. Demikian seterusnya.

Pelaku vandal kemudian diberi stempel sebagai tukang pembuat kegaduhan visual. Aktivitasnya menyebabkan terganggunya ekologi visual dan estetika kota di ruang publik. Tumpang tindih semprotan inisial tersebut berakhir menjadi teroris visual yang meneror siapa pun yang ada di kawasan tersebut.

Ironisnya, pelaku vandal sangat apatis. Mereka tidak peduli. Mereka menjadi mati rasa atas kecaman masyarakat yang menilai kegiatan tersebut illegal dan meresahkan masyarakat. Secara visual membuat kotor lingkungan pemukiman penduduk. Membuat kekumuhan visual area perkantoran, pusat perbelanjaan, dan fasilitas publik lainnya.

Atas fenomena kegaduhan visual tersebut semakin menguatkan tengara sikap hidup untuk belajar dalam arti yang sebenarnya semakin luntur. Diperparah ketika orang tua los stang urusan pendidikan dan pengajaran. Semuanya diserahkan pihak sekolah. Sementara, kegiatan belajar mengajar tidak dipandang lagi sebagai proses mengembangkan diri melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB