Di sisi lain, tubuh kaum terdidik (termasuk pelaku vandal) digerogoti virus yang menyebabkan mereka kurang memiliki kepekaan 'ajar'. Dalam konteks pendidikan formal, seharusnya kepekaan 'ajar' dibagikan sebagai tuntunan untuk menyelaraskan akal dan nalar perasaan kaum terdidik. Sayangnya, kepekaan ‘ajar’ sengaja diabaikan secara sistematis oleh pemerintah.
Pengabaian tersebut tercermin dari kurikulum dan pola pengajaran yang diterapkan. Sekolah sebagai institusi pendidikan formal, sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Guru dan dosen dipreteli tugasnya sebagai pengajar sekaligus pendidik. Mereka sekarang dicasting menjadi semata administrator pendidikan.
Dampaknya, materi pengajaran dibonsai dalam kemasan transfer knowledge. Artinya, para pengajar lebih berkonsentrasi pada pola berbagi ilmu yang diajarkan secara sepihak. Proses dialogis yang seharusnya dibangun di antara pengajar dan peserta didik tersaji dalam takaran tidak berimbang. Bahkan cenderung indoktrinasi. Peserta didik dinilai pintar kalau mereka menguasai ilmu pasti. Sedangkan ilmu sosial dan bahasa hanya dilihat sebelah mata. Apalagi kesenian. Sudah pasti mereka dikastakan dalam kategori kasta sudra. Apa yang terjadi? Pembaca sudah menyaksikan sendiri.
Pertanyaannya kemudian, atas kasus merebaknya vandalisme siapakah yang bertanggung jawab? Tampaknya pertanyaan ini dilematis. Mengapa demikian? Karena ditengarai instansi yang mengurus keindahan kota sepertinya tidak berfungsi. Demikian juga aparat penegak hukum menganggap enteng perkara ini. Lalu siapakah bertanggung jawab? Haruskah lembaga pendidikan? Orang tua? Atau warga masyarakat?
(Dr Sumbo Tinarbuko. Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 8 Mei 2017)