opini

Reshuffle

Rabu, 3 Mei 2017 | 22:36 WIB

PASAL 17 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Kewenangan mutlak presiden dalam mengangkat dan memberhentikan menteri ini disebut dengan hak prerogatif presiden. Dalam pengertian ini, pada masa jabatannya presiden bisa mengangkat dan memberhentikan seorang atau beberapa orang menteri, melengserkan tugas dan sejenisnya, yang kita kenal sebagai reshuffle.

Namun demikian, bongkar pasang menteri yang terus menerus dilakukan secara etis tidaklah baik, karena akan berdampak langsung pada program kerja yang telah dan akan dibangun oleh menteri bersangkutan. Dampaknya, di negeri ini ada banyak proyek mangkrak di tengah jalan yang ditinggalkan begitu saja sebagai akibat pergantian menteri, padahal sudah menghabiskan miliaran uang negara. Melihat perjalanannya, Presiden Jokowi adalah presiden yang ‘cukup aktif’ melakukan perubahan.

Ada dinamika yang menarik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu penyatuan sistem presidensiil dan sistem multipartai yang menurut banyak ahli tatanegara, adalah tidak cocok disatukan. Sistem presidensiil menghendaki presiden yang kuat dengan berbagai kewenangan yang dimilikinya. Dan penguatan sistem presidensiil ini memang merupakan salah satu dari lima agenda perubahan UUD tahun 1999-2002 silam. Sedangkan sistem multipartai sebaliknya, mengharuskan presiden untuk memperoleh mayoritas dukungan partai-partai di parlemen agar program kerjanya dapat berjalan dengan baik. Penyatuan kedua sistem ini merupakan salah satu penyebab mengapa presiden seringkali melakukan bongkar pasang menteri.

Ada banyak kebijakan negara yang mengharuskan adanya kerja sama antara presiden dan DPR untuk membentuknya, misalnya saja dalam pembentukan APBN, UU, pengangkatan pejabat negara, membuat perjanjian luar negeri yang berdampak bagi perekonomian nasional, mengangkat duta, dan lain sebagainya. Kesemuanya meskipun sebagian besar adalah kewenangan murni presiden sebagai kepala eksekutif namun menghendaki persetujuan DPR. Oleh karena itu, mutlak presiden harus mendapatkan sebanyak-banyaknya dukungan anggota DPR yang notabenanya adalah kader partai politik. Artinya agar mendapat dukungan dari anggota DPR yang bersangkutan, presiden juga harus mendapatkan dukungan dari partai mana anggota DPR itu berasal.

Tetapi seperti kata pepatah, ‘tidak ada makan siang gratis’. Untuk mendapatkan dukungan dari partai politik, ada ongkos politik yang harus dibayar oleh presiden, salah satu di antaranya dengan memberi jabatan menteri kepada parpol.

Dalam konteks ini, maka impian untuk membentuk kabinet profesional murni seperti yang dijanjikan setiap calon presiden dalam kampanyenya adalah mustahil. Ironisnya, kader kiriman partai politik ini acap bermasalah, atau paling tidak kinerjanya rendah di kementerian yang dipimpinnya.

Kondisi di atas, secara langsung ataupun tidak sesungguhnya membelenggu presiden untuk selalu menjaga hubungan baik dengan partai pendukungnya. Perombakan kabinet terakhir yang memasukkan kader Partai Golkar dan PAN dalam kabinet setidaknya membuktikan fenomena ini. Padahal dampaknya dengan mudah terbaca, akan ada dan mungkin banyak menteri-menteri yang tidak kompeten di bidangnya, sehingga berdampak pada rendahnya kinerja yang dihasilkan. Namun karena sistem yang ada, menjadikan fenomena ini tidak dapat dihindari.

Pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 mendatang, salah satunya adalah untuk mengurangi belenggu parpol terhadap presiden. Diharapkan dengan dipilihnya presiden dan DPR secara langsung, masyarakat akan memilih calon presiden dan DPR secara linear dalam artian dari partai yang sama. Partai politik yang memenangkan pilpres juga akan memenangkan pileg. Sehingga secara langsung akan berdampak pada terbentuknya dukungan mayoritas kepada presiden di parlemen. Dengan begitu, dalam membentuk kebinetnya presiden tidak lagi terikat dengan belenggu parpol dan dapat membentuk kabinet dari kalangan yang benar-benar profesional. Di sisi lain, fenomena bongkar pasang menteri seperti yang saat ini terjadi dapat dihindari.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB