opini

Quo Vadis Pengelolaan Sampah Kota

Rabu, 26 April 2017 | 13:56 WIB

SEKITAR setahun lalu Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 18 Tahun 2016 yang isinya adalah mengenai program percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di tujuh kota besar di Indonesia. Yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, Tangerang dan Surakarta. Perpres ini bertujuan untuk mempercepat penanganan sampah kota yang hingga saat ini masih menjadi persoalan serius kota-kota besar di Indonesia. Dengan perpres ini diharapkan persoalan yang muncul dari timbulan sampah dapat diatasi sekaligus menghasilkan listrik yang dapat dimanfaatkan masyarakat.

Namun beberapa bulan yang lalu, perpres tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) setelah dilakukan permohonan uji materiil oleh 15 individu dan 6 lembaga swadaya masyarakat (LSM). Alasan para pemohon salah satunya adalah penggunaan teknologi termal penanganan sampah yang berpotensi menimbulkan pencemaran udara yang membahayakan bagi kesehatan masyarakat. Alasan tersebut mungkin ada benarnya tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Kita harus memahami terlebih dahulu apa itu teknologi termal sebelum mengatakan bahwa teknologi tersebut sangat polutif.

Teknologi Termal

Ada beberapa skema teknologi termal untuk mengubah sampah kota menjadi listrik. Yang pertama adalah teknologi pembakaran. Dimana sampah dibakar bersama dengan udara sebagai sumber oksigen untuk menghasilkan energi panas yang digunakan untuk memanaskan air di dalam boiler untuk dijadikan uap sebagai penggerak turbin untuk memutar generator penghasil listrik. Teknologi pembakaran saat ini sudah sangat mature dan banyak digunakan di banyak negara. Sebut saja yang penulis pernah kunjungi ada di Jepang, Taiwan, dan Tiongkok.

Dari pengalaman kunjungan dan riset yang dilakukan penulis, emisi hasil pembakaran dapat diminimalkan hingga di bawah ambang batas emisi yang diizinkan. Beberapa peralatan penyaring polutan dipasang pada sistem PLTSa untuk meminimalisir emisi yang dihasilkannya. Jadi menjadi agak mengherankan jika alasan polusi menjadi dasar untuk pembatalan perpres tersebut. Mungkin yang terbayang oleh mereka adalah pembakaran konvensional selama ini.

Berikutnya dan lebih maju lagi adalah teknologi pirolisis dan gasifikasi. Pirolisis adalah teknologi pemanasan sampah kota tanpa menggunakan udara di dalam prosesnya. Jadi tidak terjadi pembakaran di dalamnya, hanya terjadi proses perengkahan rantai karbon untuk nantinya bisa dihasilkan bahan bakar cair maupun gas. Gasifikasi adalah proses pembakaran dengan udara terbatas sehingga menghasilkan bahan bakar gas yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik maupun kebutuhan lainnya. Kedua teknologi ini selangkah lebih maju dan menghasilkan polutan yang lebih rendah daripada teknologi pembakaran. Banyak negara yang sudah memanfaatkan teknologi ini pada skala demo dan sebagian sudah masuk dalam skala komersial. Ada juga yang mengkombinasikan ketiga skema tersebut untuk menurunkan emisinya dan meningkatkan efisiensinya.

Melihat skema teknologi yang telah dijelaskan di atas, menjadi tidak mendasar kalau alasan penggunaan teknologi termal telah dijadikan salah satu acuan pembatalan perpres tersebut. Teknologi PLTSa dikenal sangat bagus sekali untuk melahap sampah kota yang jumlahnya sangat banyak. Dengan teknologi ini, sampah tereduksi hingga sembilan puluh persen dan hanya tersisa abu yang jumlahnya tinggal sepuluh persen. Bahkan tumpukan sampah lama yang sudah menggunung di lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) juga bisa dimusnahkan dalam waktu singkat. Penulis salut dengan yang dilakukan Walikota Surakarta untuk tetap melanjutkan pembangunan PLTSa di TPA Putri Cempo (KR, 22/01) karena hal ini memang sangat urgen untuk segera diimplementasikan di kota-kota besar di Indonesia.

Penutup

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB