SEMENANJUNG Korea kembali memanas. Maraton uji coba rudal balistik dan uji coba senjata nuklir Korea Utara (Korut) memicu reaksi internasional. Uji coba tersebut melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB. Terlebih uji coba tersebut mengisyaratkan kapabilitas Korut meluncurkan rudal balistik antarbenua (ICBM) yang dapat menjangkau Pantai Barat AS. Amerika Serikat (AS) meradang, Presiden Donald Trump memerintahkan Grup Tempur Angkatan Laut (CSG) dengan kekuatan inti Kapal Induk CVN-70 USS Carl Vinson menuju Perairan Asia Timur. Presiden Trump melalui akun twitternya menyatakan : "Korut selalu mencari masalah, jika Tiongkok membantu (menyelesaikan) akan lebih baik, jika tidak AS akan menyelesaikannya sendirian". Korut melalui Kantor Berita KCNA menyatakan akan siap dengan model perang apapun.
Korut selalu mengabaikan kecaman dan sanksi internasional dengan rangkaian uji coba senjata non konvensionalnya. AS biasanya akan mengecam dan 'mengirimkan pesan' ketika Korut hendak melakukan uji coba. 'Pesan' yang selama ini disampaikan adalah melalui latihan bersama militer Korea Selatan (Korsel) yang melibatkan pesawat pembom strategis AS berkapabilitas perang nuklir B-52 Stratofotress. Saling mengancam dan provokasi kemudian menahan diri merupakan langgam yang jamak dilakukan Korut dan AS.
Nampaknya saat ini AS tidak main-main dengan provokasi Korut. Presiden Trump memiliki latar belakang dan platform kebijakan yang berbeda dengan mantan Presiden Obama. Pascaserangan retalasi terbatas AS di Suriah, Jumat (7/4) semakin mempertegas sikap AS terhadap provokasi dan ancaman di bawah kepemimpinan Presiden Trump. Saat ini praktis AS memiliki 2 CSG di Kawasan Asia Timur yaitu CSG berintikan USS Carl Vinson dan CSG yang 'menetap' di Pangkalan AL AS Yokoshuka, Jepang. CSG memiliki kemampuan perang konvensional maupun non konvensional. Satu CSG terdiri dari satu kapal induk kelas Nimitz, satu kapal selam nuklir kelas Los Angeles, satu destroyer
kelas Arleigh Burke, satu cruiser kelas Ticonderoga, dan satu kapal logistik termasuk suplai bahan bakar. Kemampuan tempur konvensional yang dimiliki jauh di atas kemampuan tempur konvensional Korut. Kapal Induk kelas Nimitz mampu mengangkut hingga 90 unit pesawat tempur sekelas F-18 Hornet. Sementara kapal selam kelas Los Angeles mampu memainkan peran perang nuklir dengan rudal balistik Trident (SLBM). Dan rudal konvensional BGM -103 Tomahawk dapat diluncurkan secara masif melalui kapal perang kelas Ticonderoga.
Namun strategi perang yang didoktrinkan Korut bukanlah perang konvensional. Doktrin perang Korut adalah perang nuklir. Ancaman dan provokasi Korut adalah senjata nuklir. Korut tidak memiliki kemampuan perang konvensional yang baik karena kualitas alutsista dan sumber daya manusia yang terbatas. Instrumen deterens utama Korut adalah senjata nuklir. Deterns nuklir mengandung rasionalitas. Perang nuklir akan berakibat kehancuran total bersama (mutual assured destruction/MAD). Bahkan pihak yang menang sekalipun akan mengalami kehancuran besar. Sehingga perang nuklir dianggap tidak akan memberikan keuntungan apapun. Semua pihak akan saling menahan diri untuk tidak melakukan serangan pertama, namun akan selalu siap melakukan pembalasan besar-besaran melalui serangan kedua.
Rasionalitas tidak menjadi instrumen utama dalam strategi senjata nuklir Korut. Rezim Korut dikenal sebagai rezim yang sulit diprediksi. Kekhawatiran terbesar adalah respons terhadap provokasi yang berlebihan akan memicu reaksi irasional Korut dengan melancarkan serangan nuklir. Sejauh pola yang ada, Korut akan mengendur ketika kepentingannya diakomodasi dunia internasional. Kemudian melakukan ancaman kembali ketika Korut menginginkan sesuatu.
Krisis antara AS dan Korut tidak akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Keduabelah pihak tetap akan saling menahan diri hingga situasi akan kembali normal dengan sendirinya. Kembali pada sifat senjata nuklir sebagai instrumen deterns, Kenneth Waltz menyatakan bahwa senjata nuklir merupakan satu-satunya senjata yang dapat memelihara perdamaian di dunia. Krisis di Semenanjung Korea akan datang silih berganti. Kita tunggu episode selanjutnya.
(Suryo Wibisono MSi. Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional & Peneliti Pusat Studi Peran dan Perdamaian UPN Veteran Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 18 April 2017)