opini

Bahaya Laten Brutalitas Verbal

Rabu, 12 April 2017 | 08:21 WIB

BRUTALITAS verbal adalah umpatanumpatan atau caci-maki yang dilontarkan dengan marah. Sehingga yang mendengarnya atau membacanya akan mudah terpancing untuk ikut marah. Lantas membalas mengumpat-umpat atau mencaci-maki.

Layak dicermati, brutalitas verbal sering mengemuka dan mempergaduh suasana untuk memicu pecahnya konflik sosial seperti kasus tawuran. Karena itu, brutalitas verbal betul-betul berbahaya bagi relasi sosial. Sedangkan relasi sosial sangat dekat dengan relasi politik. Jika relasi sosial semakin buruk, relasi politik bisa ikut-ikutan memburuk. Untuk konteks modern, brutalitas verbal semakin populer karena relasi sosial telah didukung media-media sosial yang semakin mudah diakses masyarakat luas.

Tiga Kemungkinan

Brutalitas verbal terutama yang bersifat intoleransi tampaknya semakin menjadi-jadi. Sehingga tidak berlebihan jika dianggap telah menjadi bahaya laten bagi bangsa dan negara. Jika brutalitas verbal betul-betul semakin menjadi-jadi di negeri ini, minimal ada tiga kemungkinan buruk yang bakal terjadi, terutama yang terkait pesta demokrasi lokal maupun nasional. Pertama ranah sosial politik akan kembali diwarnai perilaku destruktif dan biadab. Misalnya, rakyat yang menjadi pendukung calon kepala daerah akan sama-sama bertindak emosional.

Masih hangat dalam ingatan publik, betapa banyak bentrokan dan kerusuhan terjadi terkait persaingan politik di berbagai pelosok negeri ini, sehingga korban pun berjatuhan. Semua berawal dari brutalitas verbal. Biasanya kerusuhan dipicu brutalitas verbal atau perilaku emosional sejumlah pendukung tokoh tertentu yang kalah dalam pilkada.

Kedua, ranah sosial politik akan cenderung meremehkan tokoh-tokoh berkualitas dan sangat rasional. Misalnya, sejumlah tokoh dengan tingkat intelektual tinggi dan santun bisa saja tidak disukai rakyat yang telanjur terbiasa melontarkan brutalitas verbal atau berperilaku destruktif.

Selanjutnya, jika rakyat sudah telanjur terbiasa berpolitik dengan emosional dan suka berujar penuh kebencian, berbagai keputusan politik terkait nasib bangsa dan negara didesakdesak untuk segera diambil meskipun risikonya negatif. Misalnya, kalau ada konflik kepentingan tertentu dengan negara lain yang seharusnya bisa diselesaikan dengan jalan diplomatik maka akan didorong untuk diselesaikan dengan jalan perang.

Ketiga, bakal muncul kontradiksi antara perilaku elite politik dengan perilaku pendukungnya. Misalnya, perilaku elite politik justru sangat ramah dan sopan namun sebaliknya perilaku pendukungnya sangat beringas.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB