opini

Mempertanyakan IQ

Senin, 3 April 2017 | 11:34 WIB

KASUS pembunuhan yang terjadi di Asrama SMA Taruna Nusantara mengajarkan bahwa IQ yang tinggi tidak cukup untuk bekal anak bangsa menyongsong Indonesia baru. Tidak perlu diragukan, pelaku pembunuhan adalah anak yang cerdas, karena bukan rahasia lagi SMA Taruna Nusantara menerapkan syarat yang ketat untuk masuk menjadi siswanya.

Pendidikan pada dasarnya adalah upaya penanaman sikap hidup, pandangan hidup, nilai-nilai tentang kehidupan, dan keterampilan hidup. Untuk menuju ke arah itu, Buchori (2000) menambahkan, ada empat hal yang harus diacu. (1). Mengembangkan kreativitas, kebudayaan, dan peradaban; (2). Mendukung diseminasi nilai keunggulan; (3). Mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan, dan keagamaan; dan (4). Menumbuhkembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan konduktif yang koheren dengan nilai-nilai moral.

Dengan kata lain dunia pendidikan harus menciptakan peluang bagi pembudayaan individu agar kapasitasnya berkembang. Namun juga harus disadari, ‘elitisasi’ sekolah juga bagai pedang bermata dua. Yang pertama tentu akan menjaring siswa yang hebat. Namun di sisi lain, dalam teori konflik disebutkan bahwa peran sekolah seperti ini, disadari atau tidak juga melegitimasi dominasi elite social. Bahkan sekolah merupakan bagian dari kepentingan masyarakat untuk mempertahankan struktur sosial, stratifikasi sosial, dan melayani kelas sosial tertentu.

Ini artinya sekolah merupakan salah satu bagian dari suprastruktur masyarakat. Karenanya dapat dipahami jika kelompok masyarakat miskin adalah pihak yang paling susah mengikuti irama pendidikan. Meski penelitian di Amerika menunjukkan bahwa rata-rata IQ bayi berumur kurang dari dua tahun tidak ada perbedaan yang signifikan, baik antara orang kaya dan orang miskin. Namun ketika proses membesarkan anak mulai berjalan, kekurangan gizi maupun sarana pendidikan, menjadikan anak dari golongan miskin makin jauh tertinggal. Orang kaya sanggup ëmenghadirkaní sekolah di rumahnya dengan pelbagai fasilitas.

Meredupnya pamor IQ sebagai salah satu ukuran kecerdasan seseorang juga telah banyak dikemukakan. Misalnya mengutip David Brooks dalam IHT 15/9/2007 dalam The Waning of IQ, Ninok Leksono (2007) menulis banyak orang yang tinggi IQ-nya namun tidak sukses selama meniti karir bahkan untuk sekadar bergaul.

Dalam Frames of Mind : The Theory of Multiple Intelligences, Howard Garder (Basic Books,1983) misalnya menyebut tujuh macam kecerdasan, yakni : 1). Kecerdasan linguistik (kecakapan dan kepekaan terhadap arti dan tata kata-kata); 2). Kecerdasan logika-matematika; 3). Kecerdasan musical (untuk memahami dan mencipta musik); 4). Kecerdasan spasial (kecerdasan berpikir dalam gambar untuk memahami dunia visual secara akurat lalu mencipta atau mengubah ke dalam kertas; 5). Kecerdasan tubuh-kinestetik, keterampilan olah tubuh untuk mengekspresikan satu tujuan, seperti penari, olahragawan ; 6). Kecerdasan antar-pribadi atau interpersonal, yakni kecakapan untuk memahami individu lain, suasana hati, keinginan dan motivasi ; 7). Kecerdasan intrapersonal yakni kecakapan untuk mengerti emosi sendiri, menggunakan pengalaman sendiri untuk membimbing orang lain. Sedangkan kecakapan atau kecerdasan lain adalah kepemimpinan edukasional, yakni kecerdasan lingkungan, seperti kecakapan untuk menggolongkan tanaman, mineral, binatang, kemampuan mengetahui artefak budaya dan lainnya.

Peta masalah pendidikan di atas nampaknya berkaitan erat dengan faktor-faktor sosiologis. Penggunaan teori-teori sosiologi akan dapat menerangkan fenomena pendidikan di Indonesia saat ini. Sosiologi pendidikan di Indonesia di masa depan nampaknya juga harus banyak memperhatikan kepada bentuk-bentuk ketimpangan yang terjadi pada struktur masyarakat maupun di sekolah. Halhal seperti motivasi masyarakat, aspirasi, anggaran pendidikan, tingkat konsumsi masyarakat, dsb, terus dipertajam dengan kebijakan yang tidak adil. Dengan cara pandang ini maka ada kaitan antara organisasi sekolah dengan organisasi sosial, serta hubungan antara individu dengan lembaga sekolah dalam perspektif sosiologis.

Berakarnya masalah kependidikan di negara-negara berkembang dengan demikian berkaitan dengan faktor sosiologis, sejarah, budaya. Kata Winarno Surakhmad (1986), untuk mengembangkan pembaruan pendidikan yang menghasilkan pemecahan nyata dan berdampak luas, maka ilmu kependidikan harus sadar didesain untuk pembangunan manusia dan pembangunan nasional yang bermartabat.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB