opini

Studi Banding ke TPS

Sabtu, 25 Maret 2017 | 06:58 WIB

SELALU ada yang aneh setiap kali anggota DPR kita studi banding ke luar negeri. Dulu ada anggota dewan yang pergi ke negara-negara dengan sistem parlementer, lalu terpukau melihat debat antara menteri dan menteri bayangan di sana. Pulang-pulang mereka gaduh soal kabinet bayangan. Entah mereka sadar entah tidak: kita menerapkan sistem presidensiil yang berbeda dari sistem parlementer. Kalau di sana menteri berdebat dengan menteri bayangan, itu karena semua menteri memang anggota parlemen. Di sini, menteri bukan anggota parlemen.

Kali ini, anggota dewan pulang-pulang dari luar membawa gagasan agar parpol kembali menjadi bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini sama seperti yang kita terapkan tahun 1999. Belakangan kita revisi karena sistem di mana ‘pemain menjadi wasit’ itu melahirkan banyak masalah. Sekarang ada yang menginginkan itu diterapkan kembali. Lagi-lagi ini contoh keanehan dari hasil studi banding anggota DPR kita ke luar negeri.

Kalau para wakil rakyat ingin memperbaiki sistem pemilu dengan serius, mereka sebenarnya bisa mencurahkan lebih banyak waktu melihat hal-hal kecil di lapangan, yang tak memerlukan dana besar namun bisa membuka mata terhadap sejumlah persoalan. Saya sebenarnya ingin mengajak mereka melakukan studi banding ke TPS-TPS di seluruh Indonesia. Dengan mengamati bagaimana pelaksanaan pemilu di ujung depan, mereka bisa melihat sejumlah persoalan. Mulai keterlambatan logistik pemilu, masalah data kependudukan, interpretasi yang beragam di kalangan penyelenggara tentang aturan pemilu, serta pesan-pesan dari rakyat yang selama ini kerap tak terdengar.

Saat pencoblosan pemilu, kadang ada pesan-pesan khusus dari pemilih, yang disampaikan lewat surat suara. Sayangnya, tak ada mekanisme yang mampu mencatat suara rakyat itu. Surat suara yang sudah disertai pesan tambahan oleh rakyat hanya bisa disisihkan dalam kategori surat suara tidak sah, dan hilang dari perhitungan politik. Padahal riset yang saya lakukan bersama tim di UGM tentang surat suara tidak sah dalam Pilpres 2014 di DIY menemukan bahwa pesan-pesan pemilih di surat suara, bisa merefleksikan banyak sekali persoalan yang dihadapi bangsa ini. Mari kita lihat dua hal yang cukup menonjol.

Pertama, cukup banyak pemilih yang mencoblos gambar kedua pasang kandidat presiden. Prabowo dan Jokowi sama-sama mereka coblos. Apakah mereka ragu dan tak kenal kedua capres? Bisa jadi. Namun yang lebih mungkin adalah mereka menganggap keduanya tak layak dipilih, sehingg lebih baik dicoblos saja dua-duanya. Kalau begitu mereka bisa saja golput dan tak berangkat ke TPS kalau memang ragu? Betul, tapi jangan lupa bahwa tekanan sosial untuk hadir ke TPS kadang cukup kuat di kampung-kampung. Orang sungkan pada RT atau Dukuh kalau tak ke TPS.

Kedua, cukup banyak pemilih yang nampak telaten mencurahkan waktu di bilik suara untuk menulis atau menggambar. Tulisan dan gambar mereka itu berisi beberapa kritikan yang cukup mendasar terhadap politik elektoral dan pengelolaan negara secara umum. Misalnya, ada pemilih yang menulis : “Aja  ngomong thok. Buktekke!” lalu diberi garis panah ke wajah Prabowo dan Jokowi. Ada pula pemilih yang menggambar kotak ketiga, yang kemudian dia coblos. Pemilih ini seperti hendak mengatakan bahwa dia tak percaya pada kedua kandidat, dan lebih baik memilih kotak kosong, andai ada.

Itu sekadar dua contoh saja. Contoh lain masih banyak. Poin yang ingin saya tekankan adalah: anggota DPR seharusnya luangkan lebih banyak waktu melihat hal-hal riil agar mereka bisa menimbang opsi kebijakan yang serius dalam menyelesaikan UU Pemilu. Studi banding ke luar negeri harus dibatasi untuk hal-hal yang benar-benar urgen. Kalau cuma ingin tahu sistem pemilu yang diterapkan di berbagai negara, mereka bisa kunjungi kedutaan besar negara itu. Kalaupu mau dilakukan studi banding yang mahal ke luar negeri, para pesertanya pun harus mampu melahirkan ide-ide segar yang berguna bagi perbaikan sistem politik di masa depan. Kalau sekadar untuk dapat ide undur-undur, mereka tak perlu hamburkan uang rakyat.

(Abdul Gaffar Karim. Adalah Dosen DPP Fisipol UGM. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 25 Maret 2017)

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB