opini

Ruang Perempuan yang (di) Hilang (kan)

Rabu, 8 Maret 2017 | 23:23 WIB

PERINGATAN Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada tanggal 8 Maret merupakan salah satu momentum untuk terus memacu kesadaran kritis kita tentang hakikat kesetaraan, keadilan, dan pemenuhan hak asasi di era modern ini.

Gerakan perempuan buruh yang menjadi latar belakang peringatan tersebut adalah fakta sejarah, bahwa modernitas ternyata justru menciptakan banyak paradoks daripada pemenuhan janji tentang lahirnya zaman pencerahan. Sementara itu, terkait dengan isu gender dan seksualitas modernitas dapat merupakan sumbu dari berbagai ambiguitas yang berujung pada ketidakadilan dalam bentuk diskriminasi ruang.

Oleh karena itu, para perempuan buruh waktu itu menuntut agar diberikan ruang untuk bersuara. Seiring waktu, bentuk tuntutannya menjadi beragam seperti ruang untuk bekerja dengan layak, ruang untuk berekspresi, dan ruang yang bebas dari segala bentuk kekerasan. Pertanyaannya, bagaimana ruangruang yang diimajinasikan perempuan tersebut seolah-olah tidak ada atau samar keberadaannya? Sehingga masih terus diperjuangkan hingga saat ini?

Dalam masyarakat modern, hampir semua orang berlomba untuk menghindari istilah terbelakang, kuno, atau ketinggalan zaman. Sulit dipungkiri kalau kita semua sedang berada dalam sebuah tatanan dimana semua orang ingin dilihat sebagai manusia yang berpengetahuan, kekinian, dan memiliki kuasa. Tapi siapakah mereka yang lebih berkesempatan mendapatkan predikat tersebut?

Modernitas adalah sebuah peradaban yang dimeriahkan oleh kata-kata seperti rasionalitas, industri, negara, hingga agama dimana semua itu cenderung merujuk pada nilai-nilai maskulinitas. Klasifikasi berdasar rasionalitas misalnya terjadi pada ranah pendidikan dimana sering mengasosiasikan sains, teknologi, dan matematika dengan laki-laki. Oleh karena perempuan dikonstruksikan sebagai makhluk yang lebih banyak didominasi oleh ekspresi emosional. Mereka dikhawatirkan akan kesulitan mempelajari bidang-bidang yang lebih menguras akal dan pikiran.

Demikian halnya dalam ranah industri. Pemisahan ruang bebasis kepemilikan kapital hingga kuasa justru melahirkan feminisasi buruh. Partisipasi perempuan di sektor industri hanya sebatas sebagai buruh berupah rendah, tidak berdaya saing, dan lemah posisi tawarnya. Maka dapat dikatakan bahwa modernitas dan ranah publik adalah penanda atas hadirnya maskulinitas sebagai sebuah budaya.

Dengan kata lain, publik sengaja diciptakan dengan tujuan untuk membatasi bahkan menghilangkan ruang gerak perempuan. Rita Felski (1995) menyebut realitas ini sebagai tragedy of male culture, dimana ada budaya yang segala sesuatunya bertumpu dan berbasis pada ide dan nilai maskulinitas. Jika perempuan tetap memaksa berpartisipasi di ranah publik maka dirinya harus menanggalkan kearifannya sebagai subjek dan tunduk terhadap seluruh peraturan publik yang patriarkhis tersebut.

Untuk lebih meyakinkan bahwa perempuan dan kepatuhan adalah seperti dua sisi mata uang, agama kemudian dimodifikasi dengan reproduksi tafsir yang cenderung bias dan sepihak. Maka moralitas perempuan sering dikaitkan dengan penghormatan terhadap pemimpin, pencari nafkah, maupun pengambil keputusan yang berjenis kelamin laki-laki.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB