opini

Ancaman Calon Tunggal

Rabu, 15 Februari 2017 | 07:12 WIB

IMPLIKASI putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 mengenai pasangan calon tunggal dalam pilkada mulai terasa. Seperti dipahami, sebelumnya UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada mewajibkan adanya minimal dua pasangan calon dalam pilkada. Nyatanya, pasal ini menimbulkan deadlock di pertengahan jalan karena banyak daerah yang terancam batal melakukan pilkada, akibat hanya ada satu pasangan calon kepala daerah.

Keberadaan norma ini sesungguhnya bukan tanpa landasan filosofis dan yuridis, ada alasan logis mengapa pembuat UU mengharuskan adanya minimal dua pasangan calon dalam pilkada. Iklim politik di Indonesia tidak merata antara satu daerah dengan daerah yang lain, jika mengukur indeks demokrasi dari Jakarta atau kota-kota besar lainnya, mungkin hasilnya akan cukup menggembirakan. Mulai dari penyelenggara pilkada yang cukup profesional hingga pendidikan politik masyarakat yang sudah cukup baik. Dengan kondisi daerah seperti demikian, maka apapun sistem yang digunakan tidak akan berdampak signifikan terhadap penyelenggaraan pilkada.

Namun berbeda halnya jika kita mencoba mengukur indeks demokrasi di daerah-daerah pedalaman dan terpencil. Dengan akses dan fasilitas yang begitu minim profesionalitas penyelenggara pilkada serta pendidikan politik masyarakat masih sangat terbatas. Kondisi tersebut lalu diperparah dengan adanya budaya patronase yang masih subur di beberapa daerah. Tradisi penokohan dan penghormatan berlebih kepada seseorang tidak sulit ditemukan di daerah pedalaman.

Pembajakan Demokrasi

Dengan kondisi masyarakat seperti di atas, maka keberadaan calon tunggal tidaklah tepat. Selain mengganggu perkembangan demokrasi juga berdampak pada kemajuan daerah bersangkutan. Seseorang yang berkuasa di daerah atau paling tidak seseorang yang memiliki pengaruh kuat secara ekonomis dan politis, dengan mudah dapat membeli seluruh suara partai di daerahnya. Sehingga ia menjadi calon tunggal karena tidak ada partai lain yang dapat mengajukan pasangan calon lagi. Keberadaan calon independen memang seolah dapat menjadi solusi, namun dengan persyaratan yang begitu rumit, calon independen bukanlah jalan yang mudah dan tepat. Hal ini yang kemudian menjadi dasar utama mengapa UU No 8 Tahun 2015 mencantumkan norma wajibnya minimal dua pasangan calon dari pilkada. Untuk menghindari pembajakan demokrasi oleh oknum yang mencoba memanfaatkan peluang.

Namun sangat disayangkan, norma ini dibatalkan oleh MK karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945, tanpa melihat lebih jauh dampak dari pembatalannya. Lebih disayangkan lagi, MK tidak memberikan solusi atas implikasi calon tunggal seperti yang penulis paparkan di atas. MK sepintas seperti hanya melihat implikasi yuridis dari norma wajibnya minimal dua pasangan calon ini, tanpa melihat lebih jauh ke dalam dasar filosofis dan sosiologisnya yang ternyata membawa maslahat besar atas perjalanan demokrasi di Indonesia.

Dalam pilkada serentak tahun 2017, implikasi putusan MK akan adanya calon tunggal ini mulai terasa. Beberapa daerah (tidak kurang dari 5 daerah) hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah. Maka dapat dipastikan pasangan calon ini akan memenangkan pilkada. Bahkan ada satu daerah yang satu-satunya calon kepala daerah disitu, ditangkap oleh KPK sebagai tersangka korupsi. Satu hal yang pasti, keberadaan calon tunggal tidak memberikan pendidikan politik kepada masyarakat daerah.

Dua Langkah

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB