opini

Bhinneka Tunggal Ika dari Ketandan

Jumat, 10 Februari 2017 | 23:52 WIB

PEKAN Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) kembali digelar untuk menyemarakkan Tahun Baru Imlek 2568 Kongzili. Gelaran budaya tahunan yang ke-12 ini akan berlangsung sampai perayaan Cap Go Meh tiba (11/2). PBTY tahun ini istimewa karena waktu penyelenggaraannya lebih lama. Dari yang biasanya lima hari, kini menjadi tujuh hari. Harapannya agar memberi kesempatan lebih leluasa bagi masyarakat untuk hadir dan terlibat.

Rangkaian acara PBTY 2017 begitu menarik dan beragam. Antara lain atraksi barongsai-liong samsi (naga), wayang potehi, panggung hiburan, dance competition, lomba bahasa mandarin, lomba karaoke mandarin, talent show koko-cici Jogja 2017, pameran budaya dan pernak-pernik Imlek, karnaval budaya, dan tak ketinggalan tentu saja festival kuliner Nusantara. Dalam PBTY disajikan berbagai kuliner halal yang dapat dinikmati semua orang.

Kehadiran PBTY selama duabelas tahun senantiasa disambut baik oleh masyarakat. Artinya Tionghoa dan budayanya bukan lagi hal yang asing. Pada dimensi tertentu juga banyak ditemukan akulturasi budaya Tionghoa-Jawa, seperti wayang Cina-Jawa (wacinwa) yang diciptakan tahun 1925 oleh Gan Thwan Sing. Wujud akulturasi juga dijumpai dalam ragam kuliner yang sangat familier seperti mi, bakso, bakpao, bakpia, dan lainnya. Pendukung budaya seperti para pemain barongsai-liong samsi hingga dalang wayang potehi juga malahan mayoritas bukan Tionghoa.

Pecinan Ketandan

Kampung Ketandan, Pecinan Yogyakarta, menjadi pusat penyelenggaraan PBTY. Selain Ketandan, terdapat pula Kranggan sebagai kawasan Pecinan baru. Keberadaan Pecinan di berbagai kota,tidak lepas dari perlakuan diskriminatif zaman Hindia Belanda. Kolonial Belanda takut kepentingannya terancam karena masyarakat Tionghoa banyak yang bekerja sebagai pedagang perantara di desa-desa. Maka selain stratifikasi sosial, pemerintah jajahan juga mengisolasi zona tempat tinggal (wijkenstelsel) yang menyebabkan munculnya pecinan. Masih ditambah sistem surat jalan (passenstelsel) bagi mereka yang berpergian ke luar kota.

Kampung Ketandan berada di kawasan Malioboro alias Margaraja, jalan utama menuju Kraton Kasultanan Yogyakarta. Letaknya dekat Pasar Beringharjo membuat Ketandan ikut menghidupi urat nadi perekonomian. Pemberian nama Ketandan berasal dari kata ka-tandha-an. Artinya tempat tinggal para tandha alias pegawai penarik pajak dari Kraton. Maka secara politis, Ketandan juga memiliki relasi erat dengan Kraton.

Untuk mengontrol keberadaan masyarakat Tionghoa, Belanda mengangkat seorang Kapitan Tionghoa. Salah seorang Kapitan Tionghoa di Ketandan yang berperan penting pada masa Sri Sultan HB III adalah Tan Djin Sing (1760-1831). Sebagai seorang tandha, beliau bertugas mengurus pajak dari kalangan Tionghoa dan juga bertanggung jawab atas penarikan pajak di wilayah Kedu. Tan Djin Sing kemudian diangkat sebagai Bupati Yogyakarta (1813-1831) dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat.

Rumah Tan Djin Sing di Ketandan tentu memiliki makna sejarah. Diduga rumah yang luasnya sekitar 700 m2 dengan arsitektur Tionghoa, Jawa, dan Eropa itu tanahnya merupakan pemberian Sri Sultan HB III. Konon karena kedekatannya secara pribadi, Sri Sultan HB III pernah tinggal sementara di rumah Tan Djin Sing. Dari pengalaman hidupnya itu, Tan Djin Sing mampu menjembatani berbagai budaya sehingga kondang dijuluki Cina wurung, Landa durung, Jawa tanggung.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB