BEBERAPA hari lalu, Presiden Joko Widodo meluncurkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) bagi Industri Kecil Menengah (IKM) di Boyolali Jawa Tengah. Melalui kebijakan ini, pelaku IKM akan mendapatkan pembebasan bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk bahan baku produk IKM yang dikhususkan untuk ekspor. Kebijakan ini diharapkan akan mampu menekan biaya produksi IKM hingga 25% dengan harapan terjadinya peningkatan daya saing produk IKM baik secara kuantitas maupun kualitas (KR, 31/1).
Kebijakan ini sangat strategis untuk mendorong produk-produk IKM yang memiliki kualitas dan harga kompetitif. Selain rendahnya kualitas produk, selama ini, biaya produksi yang besar menyebabkan produk Indonesia sulit bersaing dengan produk-produk dari luar negeri seperti dari China, India bahkan Iran. Berbagai teorisasi mengenai daya saing menjelaskan bahwa jika produk ingin terus berada pada posisi competitive advantage maka produk tersebut harus dinamis dengan mengikuti kebutuhan dan keinginan pasar baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Kebijakan kemudahan impor ini mengingatkan kebijakan pengembangan IKM di era Orde Lama yakni Program Benteng. Program Benteng dilakukan dengan memberikan izin dan kredit kepada pedagang pribumi untuk mendapatkan lisensi mengimpor barang yang kemudian dijual di dalam negeri dengan laba yang tinggi karena adanya perbedaan kurs mata uang resmi dan yang ada di pasar gelap. Orang-orang Indonesia keturunan asing (khususnya pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa) tidak diperbolehkan untuk mendapatkan lisensi ini. Kebijakan ini mampu menambah jumlah pengusaha pribumi yang ingin mendapatkan lisensi, namun demikian dalam realitasnya, kebijakan ini hanya memperkuat pengusaha Tionghoa dan sejumlah orang India, karena lisensi yang dimiliki pengusaha pribumi dijual kembali kepada pengusaha asing terutama China (Thomas dan Panglaykim dalam Budiman, 1991:30). Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan pengusaha pribumi menjadi celah yang mampu dimanfaatkan oleh pengusaha China. Kebijakan ini akhirnya tidak mampu menghasilkan pengusaha pribumi yang tangguh dan hanya memberikan kemanfaatan kepada pengusaha China.
Lesson learned program Benteng inilah yang seharusnya menjadi pelajaran untuk implementasi program KITE ini. Proses seleksi yang ketat dan penyiapan kapasitas pelaku IKM perlu dilakukan. Kapasitas disini terkait dengan bagaimana kemampuan dan keterampilan pelaku IKM di dalam mendorong kualitas produk mereka untuk memiliki daya saing. Selama ini , permasalahan mendasar IKM terletak pada rendahnya kualitas produk, serta lemahnya inovasi dan adopsi teknologi di dalam proses produksi. Sehingga inovasi dan kreativitas perlu terus diasah agar menghasilkan produk-produk yang memiliki keunikan dan keunggulan komparatif.
Upaya mengembangkan kapasitas pelaku IKM juga akan terkait dengan membangun mentalitas entrepreneur mereka. Kelemahan pelaku IKM Indonesia cenderung cepat puas dengan pencapaian mereka. Kemampuan mengambil risiko, pantang menyerah, tidak pernah takut gagal, kemampuan memanfaatkan peluang, percaya diri adalah beberapa sikap yang juga harus dibangun kepada pelaku IKM. Selain itu, perlu diubah mindset pelaku IKM agar berorientasi outward looking dan bukan sekedar inward looking. Saatnya mereka diajarkan untuk berfikir global dan tidak sekadar berorientasi pada lokalitas.
Salah satu kegagalan Program Benteng pada masa lalu juga disebabkan karena adanya banyak kongkalikong/konspirasi di dalam pemberian lisensi-lisensi impor. Pelaku usaha yang dekat dengan penguasa atau anggota konstituante pada waktu itulah yang mendapatkan lisensi tanpa mempertimbangkan kapasitas yang dimiliki pelaku IKM. Untuk mengantisipasi, kriteria IKM yang berhak mendapatkan program ini perlu ditetapkan secara jelas. langkah tersebut perlu dilakukan agar fasilitas kemudahan impor ini benar-benar tepat sasaran.
Tanpa penyiapan kapasitas dan mentalitas pelaku IKM secara baik, program KITE ini cenderung akan sia-sia. Justru dikhawatirkan, celahcelah kelemahan yang ada dimanfaatkan oleh aktor-aktor tertentu yang ingin mencari rente (keuntungan) ekonomi dan politik dari program tersebut. Hal inilah yang harus dicegah. Pengalaman menunjukkan bahwa politisasi yang seringkali dilakukan kepada sektor IKM justru berdampak buruk bagi pengembangan IKM itu sendiri.
(Hempri Suyatna. Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 2 Januari 2017)