DUNIA pendidikan tinggi tanah air kembali tercoreng. Universitas yang seharusnya menjadi benteng terakhir moral bangsa ‘roboh’ karena kelalaian segelintir sivitas akademikanya. Kematian ketiga mahasiswa UII yang diduga kuat akibat tindak kekerasan yang dilakukan panitia diksar Mapala UII di Gunung Lawu itu diakui secara kesatria oleh Rektor. Karena kekerasan mengiringi kegiatan diksar, Rektor pun mempersilakan kepolisian menginvestigasi lebih lanjut.
Peristiwa tragis itu tentu saja sangat memukul pucuk pimpinan UII, terutama Rektor Harsoyo. Langkah sigap pun diambil Harsoyo untuk menuntaskan kasus kekerasan yang membelit, dan mencemarkan nama baik institusinya. Tanpa tedheng aling-aling pernyataan pers menyebutkan pengungkapan insiden tersebut terus dilakukan bersama pihak berwajib, demi kelancaran penyidikan tragedi Gunung Lawu.
Perasaan empati, dan aksi simpatik pun dicurahkan sepenuhnya kepada pihak keluarga korban, untuk meringankan beban psikis dan material mereka. Tidak hanya berhenti disitu, Harsoyo secara tegas memutuskan untuk membekukan segala bentuk kegiatan Mapala UII yang berdiri sejak 1974 itu. Kegiatan yang konon sarat dengan prestasi serta banyak terlibat dalam aksi-aksi kemanusiaan. Klimaksnya, Harsoyo dengan penuh kesadaran menyatakan undur diri sebagai Rektor UII periode 2014- 2018. Langkah itu diambil sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas insiden memilukan itu.
Di sisi lain, ada hal yang menarik dan tidak jamak dilakukan umumnya petinggi di negeri ini, yakni Harsoyo mempertegas alasan pengunduran dirinya lantaran merasa gagal memimpin. Beratnya pertanggungjawaban dunia-akhirat, dan beliau meminta maaf kepada seluruh Bangsa Indonesia karena telah mencemarkan dunia pendidikan yang semestinya lekat dengan keluhuran akal (intelektual) dan budi pekerti insan kampus.
Alasan pengunduruan diri itu tidak akan ke luar dari lisan orang-orang yang syahwat kekuasaannya sangat kuat. Maknanya Harsoyo memahami betul bahwa jabatan Rektor merupakan amanah berat yang sedang dipikulnya, dan melepaskannya kembali pada saat yang tepat dan dibutuhkan. Bukan ‘aib’ yang bisa meruntuhkan marwah seorang pejabat, tetapi justru mencerminkan kuatnya karakter pemimpin.
Secara struktur, tanggungjawab terhadap insiden miris itu berada pada pundak jajaran Rektor, yakni Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, atau setidaknya Kepala Bagian Kemahasiswaan yang lebih memahami secara teknis seluruh kegiatan organisasi kemahasiswaan di lapangan. Namun Harsoyo mengambil pandangan, dan sikap yang berbeda dari kebanyakan petinggi di republik ini yang cenderung ‘mengorbankan’ bawahannya ketika dibelit masalah. Bagi Harsoyo, malapetaka di Gunung Lawu itu merupakan mutlak tanggungjawab dirinya, dan bukan tanggungjawab anak buahnya.
Bateman dan Snell (2008) mengidentifikasi pemimpin seperti Harsoyo dengan sebutan pemimpin etis, yakni pemimpin berintegritas yang mempengaruhi bawahannya untuk bertindak etis. Hosmer (2003) dalam karyanya The Etic of Management memandang bahwa pemimpin etis itu selalu berupaya mengambil keputusan etis. Sementara filsuf John Rawis menyatakan bahwa hanya seseorang yang tidak peduli dengan ‘identitas’-nya yang benar-benar dapat mengambil keputusan yang sepenuhnya etis. Lebih lanjut Hosmer menjelaskan ada dua hal penting dalam proses pengambilan keputusan etis.
Pertama, pemimpin harus memahami seluruh standar moral. Tampaknya keputusan pengunduran diri Harsoyo itu diilhami nilainilai etika pemimpin yang bersumber dari ajaran Islam. Sebagaimana pesan Rasulallah: “Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, ujungnya hanya penyesalan pada hari kiamat. Di dunia ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian sungguh penuh derita.†(HR. Bukhari).