opini

Tarif Penerbitan STNK dan Kemacetan

Sabtu, 14 Januari 2017 | 23:34 WIB

MUNCUL pertanyaan menggelitik yang dilontarkan seorang wartawan mengenai kenaikan tarif penerbitan STNK dan PNBP lain di lingkungan Kepolisian RI sesuai Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2016. Wartawan tersebut menanyakan apakah kenaikan tersebut bertujuan untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor yang memicu kemacetan di berbagai kota di Indonesia. Sesungguhnya jawaban ideal dari pertanyaan tersebut adalah: ya. Namun mencermati berbagai kebijakkan yang dijalankan pemerintah selama ini, penulis cenderung menjawab ‘tidak’.

Ada beberapa alasan untuk mengatakan tidak. Pertama, kebijakan tersebut cenderung parsial karena tidak sejalan dengan kebijakan lain, terutama yang memfasilitasi kepemilikan kendaraan bermotor dengan murah dan mudah. Masih segar dalam ingatan hadirnya mobil-mobil murah yang diklaim sebagai low cost green car (LCGC) dengan berbagai alasan pendukungnya. Kehadiran mobil murah tersebut tak pelak mempertinggi pertumbuhan jumlah kendaraan di Indonesia sejak dikeluarkan pada sekitar tahun 2013.

Penambahan mobil pribadi pada tahun tersebut menembus angka 1 juta unit pertahun sesuai data BPS, dan meningkat hingga 1,1 juta unit pada tahun 2014. Bukan hanya dari sisi harga, fasilitasi mekanisme kepemilikan kendaraan juga dilakukan misalnya dengan penurunan uang muka sesuai peraturan Otoritas Jasa Keuangan tahun 2015. Murah dan mudahnya kepemilikan kendaraan, terutama pada kota-kota besar tentu akan menambah pergerakan kendaraan yang akhirnya menambah kemacetan di wilayah tersebut.

Kedua, kebijakan tersebut berlaku untuk seluruh kelompok pemilik kendaraan sehingga dampaknya juga akan berbeda-beda pada kelompok pendapatan yang berbeda. Kenaikan tarif yang berkisar puluhan dan ratusan ribu persekali penerbitan atau perpanjangan pertahun sepertinya tidak akan berpengaruh secara signifikan pada masyarakat berpenghasilan menengah ke atas yang mayoritas menjadi pemilik mobil pribadi dan sebagian pemilik sepeda motor. Mereka yang paling terdampak adalah kelompok masyarakat bawah yang rentan dengan perubahan biaya operasi kendaraan yang dimilikinya. Kenaikan ini akhirnya menyisakan pertanyaan mengenai prinsip keadilan dalam penerapan kebijakan tersebut. Karena masyarakat golongan tersebut masih cukup besar jumlahnya. Data penduduk miskin Indonesia menurut BPS pada Maret 2016 mencapai 28,01 juta orang atau 10,86% dari total penduduk, memiliki pilihan penggunaan kendaraan yang terbatas, yang justru dapat memanfaatkan kendaraan untuk tujuan produktif.

Ketiga, kebijakan tersebut ditetapkan di tengah kondisi penerimaan negara dari sektor pajak kembali tidak mencapai target. Meskipun sudah digenjot dengan program tax amnesty yang kabarnya lumayan sukses itu, namun penerimaan pajak pada akhir tahun anggaran 2016 dikabarkan hanya mencapai 82% dari target. Rendahnya tingkat penerimaan tersebut tentu menyisakan permasalahan pembiayaan yang harus ditutup.

Penerimaan bukan pajak merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menambah pendapatan. Sesuai Undang-undang nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, salah satu sumber penerimaan yang dapat dikumpulkan adalah dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah (Pasal 2). Kenaikan tarif PNBP tersebut dengan demikian memiliki konsekuensi peningkatan pelayanan kepada masyarakat, baik dalam bentuk mekanisme untuk mendapatkan surat kelengkapan yang diperlukan, atau peningkatan kualitas layanan dalam pemanfaatan kendaraan di jalan. Peningkatan kualitas layanan mungkin justru akan memicu peningkatan jumlah pengguna kendaraan, sehingga keinginan untuk menjadi disinsentif kepemilikan kendaraan tidak tercapai. Ini tentu dengan asumsi linier, bahwa peningkatan biaya akan meningkatkan kualitas layanan.

Mencermati hal-hal penting tersebut, kenaikan tarif PNBP di lingkungan Kepolisian RI, dengan meraba-raba motif yang sesungguhnya, diindikasikan lebih didasari oleh kebutuhan peningkatan penerimaan negara bukan pajak. Alih-alih untuk mengurangi kemacetan dan membenahi sistem transportasi secara keseluruhan. Tentu masih ada harapan optimis, bahwa ke depan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah akan lebih transparan dan didasari oleh kepentingan-kepentingan berjangka panjang.

(Dwi Ardianta Kurniawan ST MSc. Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 14 Januari 2017)

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB