opini

Masyarakat Instan yang Bergegas

Senin, 26 Desember 2016 | 23:43 WIB

MUNCULNYA fenomena klithih pada pengujung tahun 2016 di Yogyakarta, hanyalah salah satu penanda kecenderungan melemahnya nilai-nilai kultural (etika, norma) yang berdampak pada semakin terurainya anyaman sosial. Fenomena buram tersebut sejatinya merupakan resonansi dari krisis nilai yang terjadi di Indonesia. Dalam konteks itu, ada beberapa catatan penting atas perjalanan kebudayaan di Indonesia, selama tahun 2016.

Pertama, di ranah ideologi, Indonesia telah melakukan copy paste atas ideologi dominan, yakni kapitalisme-liberalisme. Paham ini menjadi kerangka nilai bagi keberlangsungan praktikpraktik kuasa modal yang hanya mengutamakan keuntungan material. Pengertian bangsa pun tereduksi dari konstituen (pemilik saham terbesar atas negara) menjadi konsumen. Para penyelenggara sekadar menjadi entitas politik ‘pelayan modal’ domestik atau asing atau ‘himpunan panitia pasar bebas’. Kalau toh penyelenggara negara lantang bicara soal Pancasila, UUD 45, Trisakti (kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian kebudayaan) maka hal itu sekadar retorika.

Atas dasar kepentingan modal, negara membuka pintu seluas-luasnya bagi liberalisme. Kebebasan dijunjung tinggi dan individualisme disembah tanpa basa basi. Masyarakat yang terbangun bukan lagi masyarakat yang dinapasi semangat komunal, patembayatan (persaudaraan) melainkan masyarakat soliter yang lebih meyakini cita-cita individual daripada sosial. Arahnya bisa ditebak: pencapaian keuntungan material. Uang, materi dan segala kenikmatan badaniah menjadi alat tukar paling sah di dalam tradisi transaksi. Tanpa pemenuhan syarat itu, siapa pun dibatalkan dari status dan hakhaknya sebagai warga ‘negara konsumen’ yang sah. Karena itulah, kita menjadi paham kenapa politik kita transaksional dan ekonomi kita tidak ramah pada rakyat. Politik dan ekonomi menjadi domain praktik oligarki dan kartel-kartel yang berkuasa. Rezim yang terbangun adalah rezim capital, rezim uang, bukan rezim kesejahteraan bagi rakyat.

Hedonisme dan Fundamentalisme

Kedua, dominasi dan hegemoni kapitalisme dan liberalisme menimbulkan reaksi dua kelompok kepentingan yang memiliki karakter berbeda. Yakni (1) kelompok kepentingan yang memuja hedonisme baik secara biologis maupun psikologis. Kaum hedonis adalah kelas menengah yang berpikir dan bertindak berdasarkan pragmatisme. Mereka bisa melakukan apa pun asal mendatangkan kemanfaatan (nilai guna) material dan imaterial. Mereka mendukung praktikpraktik kuasa modal, tanpa reserve. Bagi mereka idealisme, nasionalisme dan solidaritas sosial tak lebih dari omong kosong karena yang mereka buru hanyalah uang, materi dan kenikmatan. Dan, (2) kelompok kepentingan yang cenderung memperjuangkan agenda-agenda politiknya berdasarkan fundamentalisme agama.

Lalu di mana kaum nasionalis? Nasionalisme telah menjadi ideologi yang kesepian dan menggigil dalam keterasingannya. Nasionalisme baru dicomot, dipakai atau digunakan ketika situasi membutuhkannya. Namun setelah itu, nasionalisme disimpan kembali ke laci sejarah. Mereka yang mengklaim diri sebagai nasionalis pun cenderung mendukung praktikpraktik kuasa modal.

Ketiga, di ranah kebudayaan terjadi pengasingan nilai-nilai ideal, baik yang bersumber dari budaya lokal/kearifan lokal maupun budaya non-lokal. Kebudayaan baik yang tradisional maupun yang high culture, hanya bergerak di ruang sempit, misalnya di dalam dunia ekspresi estetik dan akademik. Tidak menjangkau dan membangun entitas sosial yang lebih luas: masyarakatbangsa. Kebudayaan populer atau kebudayaan massa-lah yang direstui dan diberi ruang luas oleh kuasa politik dan ekonomi (negara dan pasar). Tak peduli bahwa kebudayaan massa itu menjadikan masyarakat dangkal baik dalam berpikir maupun berperilaku/- berekspresi. Jika dalam kondisi ini lahir para kreator hebat baik di bidang estetik maupun non-estetik, maka hal itu sesungguhnya merupakan capaian mereka sendiri.

Budaya massa telah melahirkan masyarakat yang bergegas, serba cepat, instan, hanya berorientasi hasil dan melupakan proses. Determinasi kepentingan kapital dan kecanggihan teknologi melahirkan masyarakat yang kehilangan otentisitasnya dan kurang mampu berpikir secara subtil serta kritis. Bahkan mereka cenderung narsistik dan anarkis. Lihat saja perilaku sebagian (besar) mereka dalam media sosial/medsos.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB